Sosiologi ekonomi
GOOD
GOVERNANCE (TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK) BILA DIHUBUNGKAN DENGAN BUDAYA
MASYARAKAT, SISTEM EKONOMI DAN SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
Good Governance (Tata Pemerintahan) adalah
suatu mekanisme interaksi para pihak terkait yang berada di lembaga pemerintah,
lembaga legislatif dan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok untuk
bersama-sama merumuskan berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan manajemen
pembangunan dalam suatu wilayah hukum atau administratif tertentu. Dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya, pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan di daerah memerlukan dasar atau prinsip Tata Pemerintahan daerah
yang baik, yang dapat menjadi acuan bagi tercapainya tujuan pemberian otonomi,
yang adalah:
1.
peningkatan
pelayanan aparatur pemerintah di daerah dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat,
2.
pengembangan
kehidupan demokrasi, peningkatan rasa kebangsaan, keadilan, pemerataan, dan
kemandirian daerah serta,
3.
pemeliharaan
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Agar Good Governance dapat berjalan dengan
baik, dibutuhkan dari semua pihak. Baik itu pihak pemerintah, swasta dan
masyarakat. Dan untuk mencapai good governance yang efektif
dan efisien, kesetaraan, interpretasi, serta etos kerja dan moral yang tinggi
yang akan digunakan sebagai nilai dasar yang harus dipegang teguh oleh seluruh
komponen yang harus langsung dengan good governance.
Paska reformasi 1997, harapan bangsa
Indonesia untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (good governance) begitu besar, mengingat skala reformasi yang
dijalankan oleh Pemerintah waktu itu dinilai cukup luas cakupannya,
bahkan dipandang terlalu cepat dari yang pernah dijalankan oleh banyak
negara-negara di dunia. Indonesia juga dipandang telah melakukan perubahan
radikal dalam tata hubungan antara pusat dan daerah melalui program desentralisasi
pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara manapun di dunia.
Namun dalam kenyataannya, reformasi
pemerintahan yang begitu luas jangkauannya dan begitu radikal perubahannya
belum berhasil mewujudkan good governance
yang mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Terdapat beberapa faktor
penyebab hal tersebut, diantaranya pelaksanaan reformasi birokrasi dinilai
banyak kalangan hanya setengah hati.
Selain itu Good Governance (Tata Pemerintahan) adalah
suatu mekanisme interaksi para pihak terkait yang berada di lembaga pemerintah,
lembaga legislatif dan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok untuk
bersama-sama merumuskan berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan manajemen
pembangunan dalam suatu wilayah hukum atau administratif tertentu.
Diterapkannya Good Governance
diIndonesia tidak hanya membawa dampak positif dalam sistem pemerintahan saja akan tetapi hal tersebut mampu membawa dampak positif
terhadap badan usaha non-pemerintah yaitu dengan lahirnya Good Corporate
Governance. Dengan landasan yang kuat diharapkan akan membawa bangsa
Indonesia kedalam suatu pemerintahan yang bersih dan amanah.
Konsep good governance dapat
diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik. Human interest adalah faktor terkuat yang
saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara
serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa
dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu,
kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam
rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu
juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance” benturan
kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar
individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”. Good
governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses
pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara
bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara,
dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. Negara
berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan
yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada
publik.
Governance merupakan konsep perbaikan tata pemerintahan yang di susupi oleh
kepentingan ekonomi, jika di kaji lebih jauh tentang pilar governance itu
sendiri yang terdiri dari tiga aktor utama yakni negara, masyarakat dan swasta
(pasar), maka terlihat jelas bahwa kepentingan ekonomi bermain pada ranah
swasta. Negara di haruskan untuk membuat kebijakan dan menguatkan peran swasta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih jauh
peran pasar tersebut di terjemahkan oleh lembaga IMF dan Bank Dunia dengan
paket kebijakan di antaranya, pelaksanaan kebijakan anggaran yang ketat
termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, pelaksanaan
liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi sektor perdagangan (pasar bebas),
dan privatisasi BUMN. Dengan demikian negara berkembang dan negara miskin akan
semakin di miskinkan dengan kebijakan ini karena tidak memiliki capacity yang
memadai untuk memproteksi lajunya bencana ekonomi yang di bungkus dalam kemasan
perbaikan tata pemerintahan (governance). Setiap negara seharusnya bersikap
tegas untuk dapat memfilterisasi kuatnya dampak ekonomi dalam penerapan
governance, sayang kita terlalu terjebak dan terlena dengan kata good yang melekat
pada kata good governance itu sendiri yang pada dasarkan mengabstrakan
kepentingan terselubung (imperalisme) dari konsep governance itu sendiri.
Bagaimana implementasi governance
tersebut dalam konteks di Indonesia? Pendapat mengatakan bahwa kemunculan proyek-proyek governance yang
cukup sukses adalah terkait dengan kesuksesan model negara
pembangunan (developmental state model) diantara negara-negara industrialisasi baru di Asia Timur dan Asia
Tenggara (Tshuma 1999; White 1987;
Wade 1990). Pendapat lainnya mengatakan bahwa ideologi neo-liberal telah melesat setelah runtuhnya komunisme dan membangun
suatu suasana kondusif bagi kelahiran
governance sebagai sebuah isu pembangunan, dan karena neo-liberalisme
sebagai ideologi dominan mencoba
untuk mengkonstruksi ‘politically lock-in neo-liberal reforms’ (Gill 1997).
Kedua
pendapat di atas relevan dengan kemunculan good governance di Indonesia,
karena selain kebijakan pemerintah yang berorientasikan pembangunan
semasa Orde Baru, dukungan Bank Dunia dan IMF dalam mengguyurkan utang yang
disertai persyaratan-persyaratan khusus
melengkapi posisi Indonesia yang mengarah pada disain liberalisasi pasar.
Tetapi bila dilihat secara lebih
dalam, dengan menggunakan analisis hegemoni, nampak bahwa good governance bekerja dengan menggunakan rasionalitas dan teknologi kekuasaan untuk menghasilkan mesin yang halus dan efektif bagi
upaya liberalisasi pasar. Hukum sebagai instrumentasi politik dipakai sebagai legalisasi beroperasinya mesin
kekuasaan tersebut, sehingga jauh
dari cerminan rasa keadilan dan perlindungan terhadap kaum proletar.
Perubahan budaya organisasi juga kurang mendapat perhatian serius,
padahal tanpa perubahan budaya organisasi, tidak mungkin good governance dapat
diwujudkan. Kenyataan tersebut di atas merupakan hal yang tidak bisa di
pungkiri di Indonesia. Budaya paternalisme masih menjadi menjalar di lingkungan
birokrasi kita saat ini baik di lingkungan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Hal
ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman masa lalu bangsa Indonesia dibawah
penjajahan kolonial masa itu. Untuk mengefektifkan jalannya roda pemerintahan
kolonial, Belanda mengangkat merekrut pegawai yang berasal dari strata sosial
atas dan kebanyakan berasal dari kalangan keturunan bangsawan keraton (kaum
priyayi atau ningrat). Oleh karena itu birokrasi Indonesia baik yang
terdapat di Jawa maupun dihampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia, sangat diwarnai oleh budaya tradisional keraton yang
masuk dalam sistem nilai dan budaya birokrasi saat ini.
Budaya keraton pada masa lalu masih menjadi pusat
kehidupan masyarakat. Nilai-nilai yang dianggap luhur dan agung
yang terdapat di lingkungan keraton masih diikuti oleh para penganutnya,
terutama yang berstrata rendah yang ada di luar lingkungan keraton. Corak
paternalistik birokrasi di Indonesia tersebut lebih mencerminkan hubungan bapak
dan anak (bapakisme) dan hal tersebut
dianggap lebih halus dibandingkan dengan hubungan patron klien.
Seperti telah disebutkan di atas salah satu penyebab
kurang berhasilnya reformasi administrasi untuk mendukung penyelenggaraan tata
pemerintahan yang baik (good governance)
karena Pemerintah tidak menaruh perhatian yang serius terhadap perubahan budaya
organisasi. Padahal budaya organisasi memiliki pengaruh besar pada keberhasilan
dan mati hidup sebuah organisasi. Karena itulah tidak mengherankan jika di
sektor privat, perusahaan bersedia mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah
budaya perusahaan (corporate culture)
agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah dengan cepat. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa budaya
organisasi adalah tradisi yang sangat sukar diubah. Bahkan, pada organisasi
baru, membangun budaya organisasi yang sesuai dengan misinya lebih mudah untuk
dilakukan daripada mengubah budaya yang telah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar