Senin, 13 April 2015

sosiologi







Sosiologi ekonomi

GOOD GOVERNANCE (TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK) BILA DIHUBUNGKAN DENGAN BUDAYA MASYARAKAT, SISTEM EKONOMI DAN SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
Good Governance (Tata Pemerintahan) adalah suatu mekanisme interaksi para pihak terkait yang berada di lembaga pemerintah, lembaga legislatif dan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok untuk bersama-sama merumuskan berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan manajemen pembangunan dalam suatu wilayah hukum atau administratif tertentu. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah memerlukan dasar atau prinsip Tata Pemerintahan daerah yang baik, yang dapat menjadi acuan bagi tercapainya tujuan pemberian otonomi, yang adalah:
1.    peningkatan pelayanan aparatur pemerintah di daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,
2.    pengembangan kehidupan demokrasi, peningkatan rasa kebangsaan, keadilan, pemerataan, dan kemandirian daerah serta,
3.    pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Agar Good Governance dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan dari semua pihak. Baik itu pihak pemerintah, swasta dan masyarakat. Dan untuk mencapai good governance yang efektif dan efisien, kesetaraan, interpretasi, serta etos kerja dan moral yang tinggi yang akan digunakan sebagai nilai dasar yang harus dipegang teguh oleh seluruh komponen yang harus langsung dengan good governance.
Paska reformasi 1997, harapan bangsa Indonesia untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (good governance) begitu besar, mengingat skala reformasi yang dijalankan oleh Pemerintah waktu itu dinilai cukup luas cakupannya, bahkan dipandang terlalu cepat dari yang pernah dijalankan oleh banyak negara-negara di dunia. Indonesia juga dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata hubungan antara pusat dan daerah melalui program desentralisasi pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara manapun di dunia.  
Namun dalam kenyataannya, reformasi pemerintahan yang begitu luas jangkauannya dan begitu radikal perubahannya belum berhasil mewujudkan good governance yang mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Terdapat beberapa faktor penyebab hal tersebut, diantaranya pelaksanaan reformasi birokrasi dinilai banyak kalangan hanya setengah hati.  Selain itu Good Governance (Tata Pemerintahan) adalah suatu mekanisme interaksi para pihak terkait yang berada di lembaga pemerintah, lembaga legislatif dan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok untuk bersama-sama merumuskan berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan manajemen pembangunan dalam suatu wilayah hukum atau administratif tertentu.
Diterapkannya Good Governance diIndonesia tidak hanya membawa dampak positif dalam sistem pemerintahan saja akan tetapi hal tersebut mampu membawa dampak positif terhadap badan usaha non-pemerintah yaitu dengan lahirnya Good Corporate Governance. Dengan landasan yang kuat diharapkan akan membawa bangsa Indonesia kedalam suatu pemerintahan yang bersih dan amanah.
Konsep good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik. Human interest adalah faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”. Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. Negara berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik.
Governance merupakan konsep perbaikan tata pemerintahan yang di susupi oleh kepentingan ekonomi, jika di kaji lebih jauh tentang pilar governance itu sendiri yang terdiri dari tiga aktor utama yakni negara, masyarakat dan swasta (pasar), maka terlihat jelas bahwa kepentingan ekonomi bermain pada ranah swasta. Negara di haruskan untuk membuat kebijakan dan menguatkan peran swasta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih jauh peran pasar tersebut di terjemahkan oleh lembaga IMF dan Bank Dunia dengan paket kebijakan di antaranya, pelaksanaan kebijakan anggaran yang ketat termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi sektor perdagangan (pasar bebas), dan privatisasi BUMN. Dengan demikian negara berkembang dan negara miskin akan semakin di miskinkan dengan kebijakan ini karena tidak memiliki capacity yang memadai untuk memproteksi lajunya bencana ekonomi yang di bungkus dalam kemasan perbaikan tata pemerintahan (governance). Setiap negara seharusnya bersikap tegas untuk dapat memfilterisasi  kuatnya dampak ekonomi dalam penerapan governance, sayang kita terlalu terjebak dan terlena dengan kata good yang melekat pada kata good governance itu sendiri yang pada dasarkan mengabstrakan kepentingan terselubung (imperalisme) dari konsep governance itu sendiri.
Bagaimana implementasi governance tersebut dalam konteks di Indonesia? Pendapat mengatakan bahwa kemunculan proyek-proyek governance yang cukup sukses adalah terkait dengan kesuksesan model negara pembangunan (developmental state model) diantara negara-negara industrialisasi baru di Asia Timur dan Asia Tenggara (Tshuma 1999; White 1987; Wade 1990). Pendapat lainnya mengatakan bahwa ideologi neo-liberal telah melesat setelah runtuhnya komunisme dan membangun suatu suasana kondusif bagi kelahiran governance sebagai sebuah isu pembangunan, dan karena neo-liberalisme sebagai ideologi dominan mencoba untuk mengkonstruksi ‘politically lock-in neo-liberal reforms’ (Gill 1997).
Kedua pendapat di atas relevan dengan kemunculan good governance di Indonesia, karena selain kebijakan pemerintah yang berorientasikan pembangunan semasa Orde Baru, dukungan Bank Dunia dan IMF dalam mengguyurkan utang yang disertai persyaratan-persyaratan khusus melengkapi posisi Indonesia yang mengarah pada disain liberalisasi pasar. Tetapi bila dilihat secara lebih dalam, dengan menggunakan analisis hegemoni, nampak bahwa good governance bekerja dengan menggunakan rasionalitas dan teknologi kekuasaan untuk menghasilkan mesin yang halus dan efektif bagi upaya liberalisasi pasar. Hukum sebagai instrumentasi politik dipakai sebagai legalisasi beroperasinya mesin kekuasaan tersebut, sehingga jauh dari cerminan rasa keadilan dan perlindungan terhadap kaum proletar.
Perubahan budaya organisasi juga kurang mendapat perhatian serius, padahal tanpa perubahan budaya organisasi, tidak mungkin good governance dapat diwujudkan. Kenyataan tersebut di atas merupakan hal yang tidak bisa di pungkiri di Indonesia. Budaya paternalisme masih menjadi menjalar di lingkungan birokrasi kita saat ini baik di lingkungan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman masa lalu bangsa Indonesia dibawah penjajahan kolonial masa itu. Untuk mengefektifkan jalannya roda pemerintahan kolonial, Belanda mengangkat merekrut pegawai yang berasal dari strata sosial atas dan kebanyakan berasal dari kalangan keturunan bangsawan keraton (kaum priyayi atau ningrat).  Oleh karena itu birokrasi Indonesia baik yang terdapat di Jawa maupun dihampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia, sangat  diwarnai oleh budaya tradisional keraton yang masuk dalam sistem nilai dan budaya birokrasi saat ini.
Budaya keraton pada masa lalu masih menjadi pusat kehidupan masyarakat.  Nilai-nilai yang dianggap luhur dan agung  yang terdapat di lingkungan keraton masih diikuti oleh para penganutnya, terutama yang berstrata rendah yang ada di luar lingkungan keraton. Corak paternalistik birokrasi di Indonesia tersebut lebih mencerminkan hubungan bapak dan anak (bapakisme) dan hal tersebut dianggap lebih halus dibandingkan dengan hubungan patron klien.
Seperti telah disebutkan di atas salah satu penyebab kurang berhasilnya reformasi administrasi untuk mendukung penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance) karena Pemerintah tidak menaruh perhatian yang serius terhadap perubahan budaya organisasi. Padahal budaya organisasi memiliki pengaruh besar pada keberhasilan dan mati hidup sebuah organisasi. Karena itulah tidak mengherankan jika di sektor privat, perusahaan bersedia mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya perusahaan (corporate culture) agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah dengan cepat.   Memang tidak bisa dipungkiri bahwa budaya organisasi adalah tradisi yang sangat sukar diubah. Bahkan, pada organisasi baru, membangun budaya organisasi yang sesuai dengan misinya lebih mudah untuk dilakukan daripada mengubah budaya yang telah ada.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INFLASI: KURVA PHILLIPS

MODEL DINAMIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN AGREGRATE Seperti namanya, model baru ini menekankan sifat dinamis dari fluktuasi ekonomi sebagai &qu...