Sosiologi ekonomi
Pengaruh Yang Akan
Timbul Akibat Di Bebaskannya Kawasan Bebas Perdagangan Di Asia Pasifik Dan
Kawasan Asia Tenggara
Masyarakat
Ekonomi Asean yang akan merupakan integrasi ekonomi regional pada tahun 2015,
memiliki karakteristik berikut :
a) Merupakan
basis pasar dan produksi tunggal,
b) Kawasan
ekonomi dengan persaingan tinggi,
c) Kawasan
dengan pengembangan ekonomi yang diberi kesempatan yang sama,
d) Kawasan
yang sepenuhnya terintegrasi dengan ekonomi global.
AFTA dan
ACFTA: Dampak Terhadap Perekonomian Indonesia
Sebagai salah satu negara ASEAN yang berarti juga tergabung dalam AFTA.
Dengan implementasi AFTA, Indonesia mempunyai peluang untuk meningkatkan volume
perdagangan di pasar regional ASEAN. Dalam hal ini, Indonesia dapat memilih
komoditi mana yang dapat diandalkan mampu bersaing di pasar regional sehingga
memberikan nilai tambah positif terhadap perkembangan industri dalam negeri.
Selain itu, Indonesia juga mendapatkan suatu komoditi yang relatif lebih murah
manakala harus mengimpor dari sesama negara anggota ASEAN daripada dihasilkan
sendiri dalam negeri. Tetapi, Free Trade Area juga menimbulkan dampak
ketergantungan yang berkelanjutan manakala produk dalam negeri tidak mampu
bersaing di pasar regional ASEAN.
Indonesia harus benar-benar memiliki kesiapan yang matang untuk memasuki
AFTA. Salah satu bentuk persiapan yang harus dilakukan adalah menjadi bangsa
yang produktif dan mengurangi sifat konsumtif. Dari segi komoditi yang
diperdagangkan juga diperlukan adanya peningkatan kualitas agar komoditi
produksi Indonesia dapat bersaing dengan komoditi dari negara ASEAN lainnya.
Sebagai negara yang kaya akan sumber daya, baik Sumber Daya Manusia
maupun Sumber Daya Alam, pada kenyataannya sekarang ini belum cukup siap untuk
menghadapi perdagangan bebas. Salah satu indikasi belum siapnya Indonesia
adalah sumber daya yang belum dieksploitasi secara efektif dan efisien, serta
biaya produksi yang dikeluarkan produsen-produsen dalam negeri Indonesia
tergolong cukup tinggi sehingga harga komoditi dari Indonesia cenderung lebih
mahal dari harga komoditi dari negara lain di ASEAN. Dilihat dari segi kualitas
barang yang diperdagangkan dalam pasar AFTA, sebenarnya kualitas barang hasil
produksi Indonesia cukup baik.
Terjalinnya hubungan perdagangan yang baik di kawasan Asia Tenggara,
yaitu AFTA, membawa China sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia
juga menginginkan sebuah area perdagangan bebas dengan negara-negara ASEAN,
sehingga terbentuklah ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area). Bagi China,
ASEAN adalah pasar yang cocok bagi produk-produk terutama yang berbasis
tekhnologi dari China. Murahnya harga produk-produk yang mereka hasilkan dan
kualitas yang cukup bersaing membuat produk-produk dengan cepat laris-manis di pasaran.
Sedangkan bagi negara-negara ASEAN sendiri, China juga diharapkan menjadi pasar
yang yang menjanjikan dengan banyaknya jumlah penduduk China, yang berarti
lebih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi oleh China demi mencapai
kesejahteraan rakyatnya.
Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak di Asia Tenggara
merupakan pasar yang empuk bagi China. Kondisi perekonomian yang masih jauh
dari kesejahteraan membuat perilaku konsumsi masyarakatnya sangat konsumtif.
Masyarakat Indonesia sangat dibahagiakan dengan adanya barang-barang dari luar
negeri yang murah. Mereka memilih lebih untuk memenuhi kebutuhan dengan
mengonsumsi barang-barang dari luar negeri terutama China yang harganya
jauh lebih murah dari barang-barang lokal, terutama dari produk-produk yang
berbasis teknologi, ditambah lagi cuaca yang tidak menentu di Indonesia membuat
sektor pertanian keteteran dalam bersaing menghadapi produk-produk China.
Menurut laporan Sukirno dalam situs berita vivanews.com, Sejak mulai berlaku 1
Januari 2010, perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) di antaranya
telah memicu sektor pertanian keteteran serbuan produk China yang lebih murah.
Perbedaan harga yang tinggi telah menyebabkan jutaan petani kehilangan pasar
lokal, ketika produk nasional berhadapan dengan produk China.
Indonesia menjadi negara yang cenderung konsumtif karena biaya yang
dikeluarkan untuk berproduksinya tinggi. Dengan kata lain masyarakat cenderung
berfikir, “buat apa susah-susah buat kalau memang ada yang murah.”
Dengan kondisi seperti itu, akan berimbas pada perkembangan dan keberlangsungan
Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai sektor yang menjadi kunci
bagi perekonomian Indonesia menjadi kalang kabut. Produk-produk yang dihasilkan
UMKM kalah bersaing secara harga dengan produk-produk impor. Biaya produksi
yang relatif tinggi menyebabkan harga jual barang yang tinggi sehingga membuat
masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih dalam taraf ekonomi rendah
lebih memilih untuk memuaskan kebutuhan mereka dengan membeli barang-barang
jadi yang berasal dari luar negeri. Kondisi tersebut jelas memunculkan
tantangan baru bagi sektor UMKM.
Apabila sektor UMKM di Indonesia mengalami kemunduran, maka akan
mengakibatkan dampak yang sangat buruk bagi perekonomian makro, yaitu semakin banyaknya
pengangguran karena lebih dari 80% industri di Indonesia merupakan UMKM yang
artinya penyerap tenaga kerja terbesar adalah dari UMKM . Munculnya
barang-barang impor murah dari China memang meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, karena kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi. Namun dalam jangka
panjang, membanjirnya produk-produk impor murah dapat menyebabkan terhambatnya
proses pembangunan ekonomi.
Menurut Anggito Abimanyu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada,
kepada vivanews.com bahwa seiring perjalanan waktu, ternyata Indonesia menjadi
satu-satunya negara besar di Asia Tenggara yang mengalami defisit perdagangan
dengan China. Indonesia selama ini malah mengalami pertumbuhan impor produk
China yang terus meningkat. Data yang dihimpun Anggito menunjukan, kegiatan
impor produk china pada tahun 2005 tercatat hanya 12 persen dan terus meningkat
menjadi 20 persen pada tahun 2010.
Harapan tinggi Indonesia, atas perdagangan bebas dengan China, ternyata
tidak tercapai seperti apa yang diinginkan. China, meskipun merupakan negara
dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan pastinya memiliki kebutuhan yang
besar pula, dapat memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri. Disamping itu
juga, karena produk-produk China sendiri di dalam negerinya lebih murah dari
produk-produk yang mereka impor dari negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia.
Apabila ditinjau dari sisi daya saing, berdasarkan Global Competitiveness
Index Tahun 2012, index daya saing Indonesia, hanya nomor 50, berada di bawah
Thailand (38), Malaysia (25), Brunai (28), Singapore (2), Jepang (10), Korea
Selatan (19), Cina (29). Global competitiveness index, yaitu Parameter daya
saing yang dibuat oleh World Economic Forum, meliputi 12 pilar yaitu
kelembagaan, infrastruktur, lingkungan makro ekonomi, kesehatan dan pendidikan
dasar, pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar
tenaga kerja, pengembangan pasar uang, kesiapan teknologi, besar pasar,
kecanggihan bisnis dan inovasi. Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lain
di kawasan, termasuk negara ASEAN sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar