Senin, 13 April 2015

sosiologi





Sosiologi ekonomi

Pengaruh Yang Akan Timbul Akibat Di Bebaskannya Kawasan Bebas Perdagangan Di Asia Pasifik Dan Kawasan Asia Tenggara
Masyarakat Ekonomi Asean yang akan merupakan integrasi ekonomi regional pada tahun 2015, memiliki karakteristik berikut :
a)      Merupakan basis pasar dan produksi tunggal,
b)      Kawasan ekonomi dengan persaingan tinggi,
c)      Kawasan dengan pengembangan ekonomi yang diberi kesempatan yang sama,
d)     Kawasan yang sepenuhnya terintegrasi dengan ekonomi global.
AFTA dan ACFTA: Dampak Terhadap Perekonomian Indonesia
Sebagai salah satu negara ASEAN yang berarti juga tergabung dalam AFTA. Dengan implementasi AFTA, Indonesia mempunyai peluang untuk meningkatkan volume perdagangan di pasar regional ASEAN. Dalam hal ini, Indonesia dapat memilih komoditi mana yang dapat diandalkan mampu bersaing di pasar regional sehingga memberikan nilai tambah positif terhadap perkembangan industri dalam negeri. Selain itu, Indonesia juga mendapatkan suatu komoditi yang relatif lebih murah manakala harus mengimpor dari sesama negara anggota ASEAN daripada dihasilkan sendiri dalam negeri. Tetapi, Free Trade Area juga menimbulkan dampak ketergantungan yang berkelanjutan manakala produk dalam negeri tidak mampu bersaing di pasar regional ASEAN.
Indonesia harus benar-benar memiliki kesiapan yang matang untuk memasuki AFTA. Salah satu bentuk persiapan yang harus dilakukan adalah menjadi bangsa yang produktif dan mengurangi sifat konsumtif. Dari segi komoditi yang diperdagangkan juga diperlukan adanya peningkatan kualitas agar komoditi produksi Indonesia dapat bersaing dengan komoditi dari negara ASEAN lainnya.
Sebagai negara yang kaya akan sumber daya, baik Sumber Daya Manusia maupun Sumber Daya Alam, pada kenyataannya sekarang ini belum cukup siap untuk menghadapi perdagangan bebas. Salah satu indikasi belum siapnya Indonesia adalah sumber daya yang belum dieksploitasi secara efektif dan efisien, serta biaya produksi yang dikeluarkan produsen-produsen dalam negeri Indonesia tergolong cukup tinggi sehingga harga komoditi dari Indonesia cenderung lebih mahal dari harga komoditi dari negara lain di ASEAN. Dilihat dari segi kualitas barang yang diperdagangkan dalam pasar AFTA, sebenarnya kualitas barang hasil produksi Indonesia cukup baik.
Terjalinnya hubungan perdagangan yang baik di kawasan Asia Tenggara, yaitu AFTA, membawa China sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia juga menginginkan sebuah area perdagangan bebas dengan negara-negara ASEAN, sehingga terbentuklah ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area). Bagi China, ASEAN adalah pasar yang cocok bagi produk-produk terutama yang berbasis tekhnologi dari China. Murahnya harga produk-produk yang mereka hasilkan dan kualitas yang cukup bersaing membuat produk-produk dengan cepat laris-manis di pasaran. Sedangkan bagi negara-negara ASEAN sendiri, China juga diharapkan menjadi pasar yang yang menjanjikan dengan banyaknya jumlah penduduk China, yang berarti lebih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi oleh China demi mencapai kesejahteraan rakyatnya.
Indonesia dengan  jumlah penduduk terbanyak di Asia Tenggara merupakan pasar yang empuk bagi China. Kondisi perekonomian yang masih jauh dari kesejahteraan membuat perilaku konsumsi masyarakatnya sangat konsumtif. Masyarakat Indonesia sangat dibahagiakan dengan adanya barang-barang dari luar negeri yang murah. Mereka memilih lebih untuk memenuhi kebutuhan dengan mengonsumsi  barang-barang dari luar negeri terutama China yang harganya jauh lebih murah dari barang-barang lokal, terutama dari produk-produk yang berbasis teknologi, ditambah lagi cuaca yang tidak menentu di Indonesia membuat sektor pertanian keteteran dalam bersaing menghadapi produk-produk China. Menurut laporan Sukirno dalam situs berita vivanews.com, Sejak mulai berlaku 1 Januari 2010, perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) di antaranya telah memicu sektor pertanian keteteran serbuan produk China yang lebih murah. Perbedaan harga yang tinggi telah menyebabkan jutaan petani kehilangan pasar lokal, ketika produk nasional berhadapan dengan produk China.
Indonesia menjadi negara yang cenderung konsumtif karena biaya yang dikeluarkan untuk berproduksinya tinggi. Dengan kata lain masyarakat cenderung berfikir, “buat apa susah-susah buat kalau memang ada yang murah.” Dengan kondisi seperti itu, akan berimbas pada perkembangan dan keberlangsungan Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai sektor yang menjadi kunci bagi perekonomian Indonesia menjadi kalang kabut. Produk-produk yang dihasilkan UMKM kalah bersaing secara harga dengan produk-produk impor. Biaya produksi yang relatif tinggi menyebabkan harga jual barang yang tinggi sehingga membuat masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih dalam taraf ekonomi rendah  lebih memilih untuk memuaskan kebutuhan mereka dengan membeli barang-barang jadi yang berasal dari luar negeri. Kondisi tersebut jelas memunculkan tantangan baru bagi sektor UMKM.
Apabila sektor UMKM di Indonesia mengalami kemunduran, maka akan mengakibatkan dampak yang sangat buruk bagi perekonomian makro, yaitu semakin banyaknya pengangguran karena lebih dari 80% industri di Indonesia merupakan UMKM yang artinya penyerap tenaga kerja terbesar adalah dari UMKM . Munculnya barang-barang impor murah dari China memang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi. Namun dalam jangka panjang, membanjirnya produk-produk impor murah dapat menyebabkan terhambatnya proses pembangunan ekonomi.
Menurut Anggito Abimanyu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, kepada vivanews.com bahwa seiring perjalanan waktu, ternyata Indonesia menjadi satu-satunya negara besar di Asia Tenggara yang mengalami defisit perdagangan dengan China. Indonesia selama ini malah mengalami pertumbuhan impor produk China yang terus meningkat. Data yang dihimpun Anggito menunjukan, kegiatan impor produk china pada tahun 2005 tercatat hanya 12 persen dan terus meningkat menjadi 20 persen pada tahun 2010.
Harapan tinggi Indonesia, atas perdagangan bebas dengan China, ternyata tidak tercapai seperti apa yang diinginkan. China, meskipun merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan pastinya memiliki kebutuhan yang besar pula, dapat memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri. Disamping itu juga, karena produk-produk China sendiri di dalam negerinya lebih murah dari produk-produk yang mereka impor dari negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia.
Apabila ditinjau dari sisi daya saing, berdasarkan Global Competitiveness Index Tahun 2012, index daya saing Indonesia, hanya nomor 50, berada di bawah Thailand (38), Malaysia (25), Brunai (28), Singapore (2), Jepang (10), Korea Selatan (19), Cina (29). Global competitiveness index, yaitu Parameter daya saing yang dibuat oleh World Economic Forum, meliputi 12 pilar yaitu kelembagaan, infrastruktur, lingkungan makro ekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar uang, kesiapan teknologi, besar pasar, kecanggihan bisnis dan inovasi. Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lain di kawasan, termasuk negara ASEAN sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INFLASI: KURVA PHILLIPS

MODEL DINAMIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN AGREGRATE Seperti namanya, model baru ini menekankan sifat dinamis dari fluktuasi ekonomi sebagai &qu...