B
A B I P E N D A H U L U A N
1.1
Latar
Belakang
Praktek perbankan berdasarkan prinsip
syariah dimungkinkan untuk dilakukan di Indonesia setelah diberlakukannya
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 10 tahun 1998. Dengan diperkenalkannya jenis bank berdasarkan
prinsip syariah, maka sistem perbankan Indonesia saat ini disamping bank
konvensional yang kita kenal selama ini, bank dapat pula memilih kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan bank syariah pada dasarnya merupakan
perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhkan dan menghendaki
pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistem bunga melainkan atas dasar
prinsip syariah sebagaimana digariskan syariah (hukum) Islam. Bank syariah
dalam menjalankan operasinya tidak menggunakan sistem bunga sebagai dasar yang
menentukan imbalan yang akan diterima atas jasa pembiayaan yang diberikan dan
atau pemberian imbalan atas dana masyarakat. Penentuan imbalan yang diinginkan
dan yang akan diberikan tersebut sematamata didasarkan pada prinsip syariah.
Kebalikannya dengan bank konvensional di mana imbalan selalu dihitung dalam
bentuk bunga (dengan suatu presentase tertentu). Tingkat bunga yang dinyatakan
dalam presentase tertentu tersebut merupakan aspek penting yang selalu terkait
dengan kegiatan usaha bank konvensional.
Diperkenankannya perbankan syariah
tersebut, diharapkan akan dapat saling melengkapi dengan lembaga-lembaga keuangan
lainnya yang telah terlebih dahulu dikenal dalam sistem perbankan Indonesia. Di
samping itu pendirian jenis bank bagi hasil tersebut akan dapat memberi
pelayanan kepada bagian masyarakat yang karena prinsip agama atau kepercayaan
tidak bersedia memanfaatkan jasa-jasa bank konvensional. Bagaimanapun juga
banyak kelompok yang memiliki prinsip bahwa sistem bunga yang dianut oleh
perbakan merupakan pelanggaran terhadap syariah agama dan merupakan riba dalam
hukum Islam. Prinsip utama operasi bank syariah ini didasarkan pada syariah Islam
yaitu hukum-hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Bank syariah telah lama dikembangkan
dibeberapa negara antara lain Saudi Arabia, Dubai, Sudan Jordan, Kuwait,
Bahrain, Turki, Pakistan, Iran, Banglades, Senegal, dan Malaysia. Bahkan di
negara-negara maju di Eropa misalnya Swiss dan London, bank-bank Islam telah
lama beroperasi dan tentu saja dengan tetap berdasarkan syariah Islam. Salah
satu bank Islam yang telah beroperasi di beberapa negara dengan cukup berhasil
adalah Al Baraka.
Selanjutnya, upaya mendorong
pengembangan bank syariah di Indonesia dilaksanakan dengan memperhatikan bahwa
sebagian masyarakat muslim Indonesia membutuhkan jasa perbankan yang sejalan
dengan prinsip syariah berdasarkan kepada Al Qur’an dan Hadist. Pengembangan
perbankan syariah juga ditujukan untuk meningkatkan mobilisasi dana masyarakat
yang selama ini belum terlayani oleh sistem perbankan konvensional.
Dalam pengembangan bank syariah dijumpai
berbagai kendala. Yang pertama adalah kurangnya pemahaman terhadapa cara kerja
perbankan syariah. Hal ini terjadi karena perbankan syariah merupakan hal baru
di Indonesia, bahkan merupakan hal baru pula di negara-negara lain. Kendala
yang lain adalah terbatasnya jaringan kantor bank syariah sehingga masyarakat
yang akan mengakses bank syariah tidak menemukan kantor yang melayani jasa
perbankan ini. Saat ini di Indonesia baru terdapat satu bank umum syariah dan
78 BPR syariah. Jumlah kantor ini sungguh tidak memadai untuk memberikan
pelayanan kepada nasabah yang berjumlah sangat besar dan tersebar luas di
seluruh wilayah Indonesia.
Untuk mengatasi kendala kurangnya
jaringan kantor, maka Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, serta Undang-undang No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, telah memberikan peluang besar untuk
pendirian kantor-kantor bank syariah baru dan pembukaan kantor bank syariah
dengan cara konvensi dari bank konvensional.
Upaya pengembangan bank syariah di
Indonesia merupakan kegiatan yang mendasar dan memiliki dampak yang luas, bukan
saja bagi perekonomian nasional tetapi juga kegiatan ekonomi masyarakat muslim.
Oleh karena itu untuk mengembangkan bank syariah perlu diikutsertakan
unsur-unsur yang akan menentukan keberhasilannya. Unsur-unsur tersebut meliputi
lembaga pengaturan dan perundang-undangan, bankir syariah, para ahli ekonomi,
hukum dan perbankan Islam serta para ulama.
Unsur-unsur tersebut tergabung dalam
komite-komite yang terdiri dari Komite Pengarah, Komite Ahli dan Komite Kerja
Pengembangan Perbankan Syariah. Komite Pengarah bertugas menetapkan kebijakan
umum dalam pengembangan bank syariah, Komite Ahli memberikan masukan dan saran
atas tata cara dan prosedur dalam pengembangan perbankan syariah, dan Komite
Kerja bertugas merumuskan langkah-langkah perbankan syariah yang meliputi kelembagaan,
instrumen keuangan, pengembangan sumberdaya manusia dan pengawasan bank.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Bank Syariah?
2. Bagaimana
Permodalannya?
3. Bagaimana
dengan kelembagaan dan perizinan bank syariah?
4. Bagaimana
dengan struktur organisasi bank syariah?
5. Apa
saja kegiatan operasional bank syariah?
1.3
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui pengertian Bank Syariah.
2. Untuk
mengetahui Permodalan bank syariah.
3. Untuk
mengetahui kelembagaan dan perizinan bank syariah.
4. Untuk
mengetahui struktur organisasi bank syariah.
5. Untuk
mengetahui kegiatan operasional bank syariah.
B A B II P E M B A H A S A N
2.1
PENGERTIAN
Pertama-tama perlu dipahami betul bahwa
bank berdasarkan prinsip syariah atau bank syariah ini bukanlah sistem
perbankan Arab. Bank Syariah merupakan suatu bentuk perbankan yang mengikuti
ketentuan-ketentuan syariah Islam. Oleh karena itu praktek bank syariah ini
bersifat universal artinya negara manapun dapat melakukan dan mengadopsi sistem
bank syariah dalam hal :
a. Menetapkan
imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan dana
masyarakat yang dipercayakan kepadanya.
b. Menetapkan
imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat
dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja.
c. Menetapkan
imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank
syariah.
Pengertian umum Bank Syariah adalah bank
yang dalam menjalankan usahanya berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum atau
syariah Islam dengan mengacu kepada Al
Qur’an dan Al Hadist. Berusaha
sesuai prinsip syariah Islam dimaksudkan di sini adalah beroperasi mengikuti
ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya yang menyangkut tata-cara
bermuamalat secara Islam antara lain misalnya dengan menjauhi praktek-praktek
yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan kegiatan investasi atas dasar
bagi hasil pembiayaan perdagangan[1].
Sedangkan kegiatan usaha dengan mengacu pada Al Qur’an dan Al Hadist dimaksudkan
adalah dalam melakukan operasi mengikuti larangan dan perintah yang terdapat
dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul
Muhammad SAW. Penekanan dalam pelarangan tersebut terutama berkaitan dengan
praktek-praktek bank yang mengandung dan dapat menimbulkan riba. Pelanggaran
mengenai riba ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al Qur’an sebagai berikut:
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkannya mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
telah diambilya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (Al Baqarah: 275).
Pengertian Prinsip Syariah menurut
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan
usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang
modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah waiqtina).
Sedangkan Pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut,
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan bank
berdasarkan prinsip syariah ini, bank-bank dapat dibedakan dari sudut imbalan
atas kegiatan usahanya sebagai berikut[2].
a. Bank-bank
yang dalam aktivitasnya, baik dalam usaha mobilisasi dana maupun dalam rangka
penanaman dananya, memberikan dan mengenakan bunga, yang selanjutnya kita sebut
dengan bank konvensional.
b. Bank-bank
yang dalam aktivitasnya baik dalam mobilisasi dana maupun dalam penanaman
dananya berdasarkan atas prinsip bagi hasil, yang selanjutnya disebut dengan
bank syariah.
2.2
KELEMBAGAAN
DAN PERIZINAN
Bank Umum dan Bank Pekreditan Rakyat
dapat melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian bank yang melaksanakan kegiatan
usaha syariah dapat berupa bank umum maupun bank pekreditan rakyat,
Peluang untuk membuka kantor bank umum
syariah dan BPR syariah pada dasarnya dapat dilakukan sebagai berikut:
|
Pembukaan
Bank Syariah
|
Bank
Umum
|
BPR
|
1
|
Bank Syariah Baru
|
√
|
√
|
2
|
Konversi dari Kantor Pusat bank
konvensional
|
√
|
√
|
3
|
Konversi dari Kantor Cabang
Konvenional
|
√
|
-
|
4
|
Kantor Cabang Syariah (baru) dari bank
konvensional
|
√
|
-
|
5
|
Peningkatan status dan konversi Kantor
Cabang Pembantu bank konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah
|
√
|
-
|
Sumber:
Bank Indonesia
Sebelum melakukan kegiatan usaha perbankan
syariah bank perlu memperoleh dua tahap izin dari Bank Indonesia, yaitu
persetujuan prinsip dan izin usaha. Untuk memperoleh persetujuan prinsip dan
izin usaha tersebut, pendiri atau direksi bank mengajukan permohonan kepada
Dewan Gubernur Bank Indonesia.
Persetujuan prinsip merupakan
persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian atau pembukaan kantor bank.
Pihak yang telah memperoleh persetujuan prinsip belum diperbolehkan melakukan
kegiatan usaha sebelum mendapat izin usaha.
Izin uzaha merupakan Izin yang diberikan
untuk melakukan kegiatan usaha bank setelah persiapan selesai dilakukan.
2.3
PERMODALAN
Bank Umum Syariah
Pendiri bank umum syariah baru wajib
memenuhi persyaratan permodalan sebagai berikut:
a. Jumlah
minimal modal disetor adalah sebesar Rp. 3 triliun. Bagi bank asing yang akan
membuka kantor cabang baru di Indonesia, modal disetor atau dana usaha kantor
cabang tersebut minimal juga Rp. 3 triliun yang dapat berupa valuta rupiah atau
valuta asing senilai Rp. 3 triliun.
b. Sumber
dana untuk modal disetor bank baru tidak boleh berasal dari pinjaman atau
fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain di
Indonesia.
c. Sumber
dana modal disetor bank baru juga tidak boleh berasal dari sumber yang
diharamkan menurut ketentuan syariah termasuk dari dan untuk tujuan pencucian
uang (money laundering).
Bagi bank umum konvensional yang membuka
kantor cabang syariah wajib menyediakan modal kerja untuk setiap kantor. Modal
kerja dimaksud adalah modal yang disisihkan oleh bank dalam suatu rekening
tersendiri atas nama pimpinan Unit Usaha Syariah yang dapat digunakan untuk
membayar biaya kantor dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan
operasional maupun non operasional kantor cabang syariah. Besarnya modal kerja
dimaksud sekurang-kurangnya:
a. Rp.
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk setiap kantor cabang syariah yang
berkedudukan di wilayah Jabotabek; atau
b. Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap kantor cabang syariah yang
berkedudukan di luar wilayah Jabotabek.
Penyisihan modal kerja tersebut
dimaksudkan agar dana yang dikelola oleh kantor cabang syariah tidak tercampur
dengan dana yang dikelola oleh kantor cabang syariah tidak tercampur dengan
dana kantor induk yang beroperasi secara konvensional.
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Persyaratan permodalan untuk BPRS baru
sama dengan BPR konvensional, yaitu sekurang-kurangnya sebesar:
a. Rp
2 miliar untuk BPRS yang didirikan di wilayah Jabotabek dan Karawang.
b. Rp
1 miliar untuk BPRS yang didirikan di wilayah ibu kota propinsi dan diluar
wilayah tersebut pada huruf (a)
c. Rp
500 juta untuk BPRS yang didirikan di wilayah lainnya.
Sumber dana untuk modal disetor BPRS
baru tidak boleh berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari bank dan /atau pihak lain di Indonesia. Sumber dana modal di setor
BPRS baru juga tidak boleh berasal dari yang diharamkan menurut ketentuan
syariah termasuk hasil kegiatan yang melanggar hukum.
2.4
STRUKTUR
ORGANISASI
Menurut Petunjuk Pembukaan Kantor Bank Syariah,
Bank Indonesia (1999), Bank Umum syariah dan BPRS wajib memiliki Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang ditempatkan di kantor pusat bank tersebut. Anggota DPS harus
terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah
Nasional (DSN). Oleh karena itu struktur organisasi bank perlu disesuaikan.
Contoh struktur organisasi bank umum syariah dapat dilihat pada Gambar 5-1.
Gambar
5-1
Contoh
Bagan Organisasi
Bank
Umum Syariah dan BPRS
Sementara itu bagi bank umum
konvensional yang membuka kantor cabang syariah, selain wajib memiliki DPS juga
diwajibkan membentuk Unit Usaha Syariah (UUS). UUS merupakan satuan kerja di
kantor pusat bank umum yang berfungsi sebagai kantor induk bagi kantor-kantor
cabang syariah. Karena BPR konvensional tidak diperkenankan untuk memiliki
kantor cabang syariah, maka UUS tidak dikenal pada BPR. Contoh struktur
organisasi bank umum konvensional yang membuka kantor cabang syariah dapat
dilihat pada Gambar 5-2
Gambar
5-2
Contoh
Bagan Organisasi Bank Umum Konvensional yang Membuka Kantor Cabang Syariah
DEWAN
PENGAWAS SYARIAH (DPS)
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah
badan independen yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DNS) pada bank. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang
syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan umum dibidang perbankan. Persyaratan
anggota DPS diatur dan ditetapkan oleh DNS.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS
wajib mengikuti fatwa DNS yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan
fatwa mengenai kesesuaian produk dan jasa bank dengan ketentuan dan prinsip
syariah.
Tugas utama DPS adalah mengawasi
kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip syariah
yang telah difatwakan oleh DNS. Selain itu DPS juga mempunyai fungsi :
a. Sebagai
penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan Unit Usaha Syariah dan
pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek
syariah.
b. Sebagai
mediatot antara bank dan DNS dalam mengkomunikasikan usul dan saran
pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari
DNS.
c. Sebagai
perwakilan DNS yang ditempatkan pada bank. DPS wajib melaporkan kegiatan usaha
serta perkembangan bank syariah yang diawasinya kepada DNS sekurang-kurangnya
satu kali dalam satu tahun.
DEWAN
SYARIAH NASIONAL (DNS)
Dewan Syariah Nasional (DNS) merupakan
bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas menumbuhkembangkan
penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor
keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi, dan reksa dana.
Anggota DSN, terdiri dari para ulama,
praktisi dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait dengan perekonomian dan
syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4
tahun.
DSN merupakan satu-satunya badan yang
mempunyai wewenang mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan
jasa keuangan syariah; serta mengawasi fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga
keuangan syariah di Indonesia. Di samping itu, DSN juga mempunyai kewenangan
untuk:
a. Memberikan
atau mencatat rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai anggota DSN pada
suatu lembaga keuangan syariah.
b. Mengeluarkan
fatwa yang mengikat DNS di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi
dasar tindakan hukum pihak terkait.
c. Mengeluarkan
fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang, seperti bank Indonesia dan BAPEPAM.
d. Memberikan
peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari
fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.
e. Mengusulkan
kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan peringatan tidak
diindahkan.
UNIT
USAHA SYARIAH
Kantor-kantor cabang syariah dari bank
umum konvensional pada dasarnya merupakan unit yang mempunyai karakteristik
kegiatan usaha yang berbeda, serta mempunyai pencatatan dan pembukuan yang
terpisah dari kantor-kantor konvensionalnya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu unit
kerja khusus yang disebut dengan Unit Usaha Syariah (UUS) yang berfungsi
sebagai kantor induk dari seluruh kantor cabang syariah. Unit tersebut berada
di kantor pusat bank dan dipimpin oleh seorang anggota direksi atau pejabat
satu tingkat dibawah direksi.
Secara umum tugas UUS mencakup :
a. Mengatur
dan mengawasi seluruh kegiatan kantor cabang syariah.
b. Melaksanakan
fungsi treasury dalam rangka pengelolaan
dan penempatan dana yang bersumber dari kantor-kantor cabang syariah.
c. Menyusun
laporan keuangan konsolidasi dari seluruh kantor-kantor cabang syariah.
d. Melaksanakan
tugas pantau usaha laporan keuangan kantor-kantor cabang syariah.
SUMBER
DAYA MANUSIA
Kegiatan usaha bank secara umum menuntut
adanya profesionalisme yang tinggi guna mendukung proses pengambilan keputusan
dan pengendalian risiko usaha pada tingkat yang serendah mungkin. Sesuai dengan
karakteristik kegiatan usahanya, sumber daya manusia perbankan syariah selain
harus mempunyai kemampuan teknis di bidang perbankan, juga menuntut memiliki
pengetahuan mengenai ketentuan dan prinsip syariah secara baik, serta memiliki
akhlak dan moral yang Islami.
Akhlak dan moral yang Islami dalam bekerja dapat disarikan dalam
empat ciri pokok yaitu shiddiq (benar
dan jujur), tabligh (mengembangkan
lingkungan/bawaan menuju kebaikan), amanah (dapat dipercaya), dan fathanah (kompeten dan professional). Keempat ciri pokok tersebut
hendaknya dapat menjadi ketentuan umum yang bersifat normatif dalam penetapan
kualitas sumber daya manusia baik pimpinan maupun pelaksana pada bank syariah.
Secara khusus Bank Indonesia mengatur
bahwa pimpinan bank syariah dan pimpinan kantor cabang bank syariah diharuskan
mempunyai persyaratan:
1. Memiliki
komitmen dalam menjalankanoperasional bank berdasarkan prinsip syariah secara
konsisten,
2. Memiliki
integritas dan moral yang baik, serta
3. Mempunyai
pengalaman operasional perbankan syariah atau telah mendapatkan pendidikan atau
pelatihan perbankan syariah baik didalam maupun luar negeri.
Oleh karena bank syariah memerlukan
kepercayaan masyarakat bahwa dalam pelaksanaan kegiatan usahanya tidak
menyimpang dari ketentuan dan prinsip syariah serta mempertimbangkan aspek
sosio-kultur masyarakat muslim Indonesia, maka sebaiknya dalam tahap awal
pengangkatan pimpinan unit usaha dan pimpinan kantor cabang syariah beragama Islam.
Perbedaan
Sitem Bunga Dengan Syariah
Beberapa perbedaan antara sistem bunga
dengan prinsip syariah yang diterapkan oleh bank konvensional dan bank syariah
dalam memberikan pembiayaan kepada nasabah antara lain sebagai berikut:
Tabel
5-1
Perbedaan
Sistem Bunga dengan Syariah
No
|
Pokok-Pokok Perbedaan
|
Sistem Bunga
|
Prinsip Syariah
|
1.
|
Dasar perjanjian penentuan bunga/imbalan
|
Perjanjian pengenaan bunga tidak berdasarkan
keuntungan/kerugian
|
Perjanjian imbalan berdasarkan pada
keuntungan/kerugian
|
2.
|
Dasar perhitungan bunga/imbalan
|
Persentase tertentu dari total dana
yang dipinjamkan kepada nasabah
|
Besarnya misbah bagi hasil didasarkan
atas jumlah keuntungan yang diperoleh nasabah
|
3.
|
Kewajiban pembayaran bunga/imbalan
|
a. Pembayaran
bunga tetap harus di bayar, meskipun usaha nasabah mengalami kerugian.
b. Besarnya
pembayaran bunga oleh nasabah jumlahnya tetap meskipun keuntungan nasabah
lebih besar dari jumlah yang diperkirakan
|
a. pembayaran
imbalan dilakukan apabila nasabah memperoleh keuntungan. Sebaliknya bila
rugi, jumlah kerugian/resiko ditanggung kedua belah pihak.
b. Besarnya
imbalan berubah sesuai dengan besar-kecilnya keuntungan yang didapat
nasabahnya.
|
4.
|
Persyaratan jaminan pembiayaan
|
Pembiayaan umumnya memerlukan
penyerahan jaminan berupa barang/harta nasabah
|
Persyaratan jaminan tidak mutlak
diperlukan
|
5.
|
Objek pembiayaan
|
Jenis usaha yang dibiayai tidak
dibedakan, sepanjang memenuhi persyaratan (bankable).
|
Jenis usaha yang dibiayai harus sesuai
dengan ketentuan Syariah
|
6.
|
Pandangan prinsip syariah terhadap
sitem bunga
|
Pembayaran/pengenaan bunga oleh
kreditur kepada nasabah dianggap haram
|
Pembayaran imbalan berdasarkan bagi
hasil sifatnya halal.
|
2.5
KEGIATAN
OPERASIONAL BANK SYARIAH
Kegiatan operasional Bank Syariah baik
dalam penghimpunan dana dan penanaman dana maupun pemberian jasa-jasa
berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, Bank Indonesia (1999)
adalah sebagai berikut :
PENGHIMPUNAN
DANA
Sebagaimana pada bank konvensional,
penghimpunan dana di bank umum syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan
deposito, sedangkan BPRS hanya dapat melayani tabungan dan deposito. Namun
demikian mekanisme operasional penghimpunan dana ini harus disesuaikan dengan
prinsip syariah. Prinsip operasional syariah yang telah diterapkan secara luas
dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip Wadi’ah dan Mudharabah. Dengan
demikian penamaan jenis penghimpunan dana pada bank syariah disesuaikan dengan
prinsip yang melandasinya.
Prinsip
Wadi’ah
Dalam kegiatan penghimpunan dana
masyarakat di bank syariah prinsip wadi’ah
dapat diterapkan pada rekening giro dan tabungan. Dengan demikian terdapat 2 (dua)
jenis penghimpunan dana berdasarkan wadi’ah,
yaitu Giro Wadi’ah dan Tabungan Wadi’ah.
Prinsip wadi’ah yang berlaku baik untuk rekening giro maupun tabungan :
a. Prinsip
wadi’ah yad dhamanah, yang berarti
bank dapat memanfaatkan dan menyalurkan dana yang disimpan serta menjamin bahwa
dana tersebut dapat ditarik setiap saat oleh pemilik dana. Namun rekening ini tidak
boleh mengalami saldo negatif (overdraft).
b. Keuntungan
atau kerugian dari penyaluran dan menjadi hak milik atau ditanggung bank,
sedangkan pemilik dana tidak memperoleh imbalan atau menanggung kerugian.
Manfaat yang diperoleh pemilik dana adalah jaminan keamanan terhadap
simpanannya serta fasilitas-fasilitas giro dan tabungan lainnya. Bank dapat
memberikan bonus kepada pemilik dana namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, pemberian bonus
merupakan salah satu insentif dalam upaya menarik dana masyarakat
sebanyak-banyaknya.
c. Bank
harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana
yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik
rekening giro, bank dapat memberikan buku cek dan debit card. Sedangkan bagi penabung, bank dapat memberikan buku
tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan/atau alat penarikan
lainnya.
d. Terhadap
pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan biaya administrasi. Untuk
menjauhkan dari riba, maka biaya administrasi:
1. Harus
dinyatakan dengan nominal, bukan prosentase
2. Harus
nyata, jelas dan pasti serta terbatas pada hal-hal yang mutlak diperlukan untuk
terjadinya akad.
e. Ketentuan-ketentuan
lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Prinsip
Mudharabah
Berdasarkan kewenangan yang diberikan
oleh pihak pemilik dana, prinsip mudharabah terbagi dua yaitu, mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah
a.
Mudharabah mutlaqah
Dalam kegiatan penghimpunan dana
pada bank syariah prinsip mudharabah
mutlaqah dapat diterapkan untuk pembukaan rekening tabungan dan deposito
sehingga terdapat 2 (dua) jenis penghimpunan dana berdasarkan prinsip yaitu: Tabungan Mudharabah dan Deposito Mudharabah.
Prinsip mudharabah
berikut ini berlaku untuk tabungan maupun deposito:
1. Bank
wajib memberitahukan kepada pemilik dan mengenai nisbah dan tatacara pemberian
keuntungan dana/atau perhitungan pembagian keuntungan serta risiko yang dapat
timbul dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut harus dicantumkan dalam akad.
2. Untuk
tabungan mudharabah, bank dapat
memberikan buku tabungan sebagai bukti
penyimpanan, serta kartu ATM dan/atau alat penarikan lainnya kepada penabung.
Untuk deposito mudharabah, bank wajib
memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
3. Tabungan
mudharabah dapat diambil setiap saat
oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak boleh
mengalami saldo negatif (overdraft).
Deposito mudharabah hanya dapat
dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang disepakati. Deposito yang diperpanjang
setelah jatuh tempo akan diberlakukan sama seperti deposito baru, tetapi
apabila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis maka tidak perlu
dibuat akad baru.
4. Ketentuan-ketentuan
lain yang berkaitan dengan tabungan dana deposito tetap belaku sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
b.
Mudharabah muqayyamah
Jenis
ini merupakan simpanan khusus (restricted
investment) dimana pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang
harus diikuti oleh bank. Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai
berikut:
1. Pemilik
dana menetapkan syarat penyaluran dana. Untuk itu bank wajib membuat akad yang
mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.
2. Sebagai
tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib
memisahkan dana dari rekening simpanan khusus dengan dana dari rekening
lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening
administratif.
3. Dana
simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepda pihak yang diamanatkan
oleh pemilik dana.
PENYALURAN
DANA
Dalam penyaluran dana bank syari’ah
harus berpedoman pada prinsip kehati-hatian. Sehubungan dengan hal itu bank
diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah penerima dana
berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan
dengan penyaluran dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip syari’ah.
Dalam penyaluran dana kepada nasabah,
secara garis besar terdapat 4 kelompok prinsip operasional syari’ah, yaitu
prinsip jual beli (bai’), sewa beli (ijarah wa iqtina), bagi hasil (syirkah), dan pembiayaan lainnya.
Prinsip
Jual Beli (Bai’)
Prinsip pertama operasional syari’ah
dalam penyaluran dana disebut prinsip jual beli meliputi; Murobahah, Salam dan
Ishtisna’.
a. Murabahah
Prinsip
murabahah umumnya diterapkan dalam
pembiayaan pengadaan barang investasi. Skema ini paling banyak digunakan karena
sederhana dan menyerupai kredit investasi pada bank konvensional. Skim murabahah sangat berguna bagi seseorang
yang membutuhkan barang secara mendesak tetapi kekurangan dana. Ia kemudian
meminta pada bank agar membiayai pembelian barang tersebut dan bersedia
menebusnya pada saat barang tersebut diterima. Harga jual pada pemesanan adalah
harga pokok ditambah marjin keuntungan yang disepakati. Kesepakatan harga jual
dicantumkan dalam akad jual beli dan tidak dapat berubah menjadi lebih mahal
selama berlakunya akad. Proses pembiayaan murabahah
dapat diikuti pada Gambar 5-3
Gambar
5.3
Skema
Murobahah
1.negoisasi dan
persyaratan
persyaratan
BANK
|
NASABAH
|
2.Akad jual beli
6.
Bayar
SUPPLIER
PENJUAL
|
5. Terima Barang dan Dokumen
3.
Beli
4.
Kirim
b.
Salam
Salam
adalah pembelian barang untuk hantaran (delivery)
yang ditangguhkan dengan pembayaran dimuka. Salam
dalam perbankan biasanya diplikasikan pada pembiayaan berjangka pendek untuk
produksi agribisnis atau industri sejenis lainnya.
Pembelian
hasil produksi agribisnis atau industri sejenis lainnya harus diketahui secara
jelas sejenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. Harga jual yang disepakati
harus dicantumkan dalam akad dan tidah boleh berubah selama berlakunya akad.
Apabila
hasil produksi yang di terima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka produsen
harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah
diterimanya atau mengganti dengan yang sesuai pesanan.
Mengingat
bank tidak menjadikan barang yang di beli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank
untuk melakukan akad salam kepada pembeli kedua seperti bulog, pedagang pasar
induk, atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan Paralel Saham.
Gambar 5.4
Skema
Bai’ Salam (Pararel)
3.kirim dokumen 5.Bayar
1. pemesanan
Barang Nasabah &
Bayar tunai
2.Negoisasi pemesanan dg
kriteria
c. Istishna’
Prinsip
istishna’ menyerupai salam, namun istishna’ pembayarannya dapat di muka, dicicil atau di belakang.
Skim istishna’ dalam bank syariah
umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur, industri kecil-menengah dan
kontruksi.
Kriteria
barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam, mutu dan jumlah. Harga jual
yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna’ dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika
terjadi perubahan kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad
ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung oleh nasabah.
Proses pembiayaan istishna’ dapat di
uraikan sebagaimana pada Gambar 5-5 dan Gambar 5-6
Gambar
5-5
Skema
Istishna’
Produsen
Pilihan Bank
1.Pesan
2.
Beli
3.
Jual
Gambar
5.6
Skema
Istishna’
Produsen
Pilihan Nasabah
1. Pesan dan Beli 2.Pesan & Beli
3.Jual Beli
Dalam
pelaksanaannya istishna’ dapat
dilakukan melalui dua macam cara, yaitu: pertama,
pihak produsen ditentukan oleh bank, kedua,
pihak produsen ditentukan oleh nasabah. Pelaksanaan salah satu dari kedua cara
tersebut harus ditentukan dimuka dalam akad, berdasarkan kesepakatan ke dua
belah pihak.
Prinsip
Sewa Beli (Ijarah Wa Iqtina/Ijarah Munyahiyyah Bittamlik)
Prinsip kedua penyaluran dana dalam
oprasional syariah adalah prinsip sewa beli yang juga disebut ijarah wa iqtina atau ijarah mntahiyyah bittamlik.
Ijarah
Wa Iqtina (Ijarah muntahiyyah Bittamlik) adalah akad sewa
menyewa suatu barang antara bank dengan nasabah dimana nasabah diberi
kesempatan untuk membeli obyek sewa pada akhir akad atau dalam dunia usaha
dikenal dengan finance lease. Harga
sewa dan harga jual beli ditetapkan bersama di awal perjanjian. (Gambar 5-7)
Objek sewa harus bermanfaat dan
dibenarkan oleh syariah dan nilai dari manfaat dapat diperhitungkan atau
diukur. Umumnya objek sewa yang ditransaksikan antara lain meliputi properti, peralatan,
alat-alat transportasi, dan alat-alat berat.
Gambar 5.7
Skema Ijarah wa Iqtina’
B.Milik
3.Sewa Beli
2.Beli
Objek
1.Butuh
Objek Sewa Sewa
A.Milik
Prinsip
Bagi Hasil (Syirkah)
Prinsip ketiga penyaluran dana adalah
prinsip bagi hasil atau syirkah
meliputi musyarakah, mudharabah, mutlaqah
dan mudharobah muqayyadah.
a.
Musyarakah.
Musyarakah
dalam perbankan biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah
dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Modal yang
disetor bisa berupa uang, barang perdagangan (trading aset), property, equipment,
atau intangible asset (seperti hak
paten dan goodwill) dan barang-barang
lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Semua modal di campur untuk dijadikan
modal proyek musyarakah dan dikelola
bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan
kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. (Gambar 5-8).
Gambar
5-8
|
Pemilik
modal yang dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan
tindakan seperti :
· Menggabungkan
dana proyek dengan harta pribadi,
· Menjalankan
proyek musyarakah dengan pihak lain
tanpa izin dari pemilik modal lainnya,
· Memberi
pinjaman kepada pihak lain.
Setiap
pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain.
Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila
· Menarik
diri dari perserikatan
· Meninggal
dunia, atau
· Menjadi
tindak cakap hukum
Dalam
hal pemilik modal, sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai pengelola proyek
(wakil), maka ada dua perjanjian yang berlaku. Perjanjian pertama, yaitu perjanjian musyarakah
antar pemilik modal. Perjanjian kedua
adalah perjanjian mudharabah atau murabahah, yaitu antara pemilik modal
dan pengelola proyek (wakil).
Biaya
yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka wwaktu proyek harus diketahui bersama.
Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian dibagi sesuai
konstribusi modal. Apabila terjadi perubahan kontribusi modal maka pembagian
keuntungan berubah sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian berubah sesuai
dengn kontribusi modal. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan di dalam
akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi
hasil yang telah disepakati untuk bank.
b.
Mudharabah Mutlaqoh
Jumlah
modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus berupa uang
tunai dan apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan
disepakati bersama. ( Gambar 5-9)
Gambar
Skema 5-9
Skema
Mudharabah
Perjanjian
Bagi Hasil
KEAHLIAN
MODAL 100%
KETRAMPILAN
Nisbah X% Nisbah Y%
Hasil
dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah diperhitungkan dengan cara :
1. Perhitungan
dari pendapatan proyek (revenue sharing)
2. Perhitungan
dari keuntungan proyek (profit sharing)
Hasil
usaha di bagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau
waktu yang disepakati. Bank selalu pemilik modal menanggung seluruh kerugian
kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan,
kecurangan dan penyalahgunaan dana.
Bank
berhak melakukan pengawasan terhadap perkerjaan namun tidak berhak mencampuri
urusan perkerjaan/urusan nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja
misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayran kewajiban, dapat
dikenakan sanksi administrasi.
c.
Mudharabah Muqayyadah
Karakteristik
mudharabah muqayyadah pada dasarnya
sama dengan persyaratan mudharabah
mutlaqah. Perbedaannya adalah penyediaan modal hanya untuk kegiatan
tertentu dan dengan syarat sepenuhnya ditetapkan oleh bank. (Gambar 5-10)
Gambar
(5-10)
Skema
Mudharabah Muqayyadah
Investasi
Khusus
Dana Proyek
|
|
|
3.
Paper
Reksadana
|
Investasi
Jasa
perbankan
a.
Qardh
Aplikasi
qardh dalam perbankan biasanya ada 4 (empat) hal, yaitu:
1.
sebagai suatu produk pembiayaan, di mana
nasabah diberikan suatu plafond pembiayaan untuk menutupi suatu pembayaran dan
akan dikembalikan secepatnya sejumlah yang dipinjam dari qardh ini. Qardh juga
disebut sebagai pembiayaan dana talangan.
2.
sebagai produk untuk nasabah funding
yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak dapat menarik dananya karena
tersimpan dalam simpanan yang tidak dapat segera dicairkan, seperti deposito.
3.
sebagai compensating balance dan Dana Talangan antar bank syariah.
4.
sebagai produk untuk sosial seperti
untuk usaha kecil.
Gambar 5-11
Skema Qardh
Perjanjian Qardh
Tenaga
Kerja Modal
|
Mengingat
sifatnya tidak mendapatkan keuntungan, maka sumber dana qardh berasal dari alokasi modal bank dan dana pihak ketiga yang
besarnya ditetapkan oleh direksi dan dilaporkan dalam KUPS. Bank dapat meminta
jaminan atas pemberian pinjaman, sementara nasabah wajib mengembalikan dana
pinjamannya walaupun mengalami kerugian dalam pengelolaan usaha. Bank mengenakan
sanksi terhadap nasabah yang menggunakan dana qardh tidak sesuai dengan akad. (Gambar 5-11)
b.
Hiwalah
(Anjak Piutang)
Tujuan
fasilitas hiwalah adalah untuk
membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya
dengan cara mengalihkan piutangnya kepada bank. Bank mendapat imbalan (fee) atas pengalihan piutang
tersebut. Besarnya imbalan atas jasa
pengalihan piutang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank dengan
nasabah sesuai kadar usaha dan/atau hasil yang diperoleh. (Gambar 5-12)
Gambar
5-12
Skema
Hiwalah
|
2.Invoice 3.Bayar 4.Tagih 5.Bayar
1.Suplai barang
Untuk
mengantisipasi risiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan
penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran transaksi antara
yang memindahkan piutang dan yang berhutang.
c.
Rahn
(Gadai)
Tujuan
pemberian fasilitas rahn adalah untuk membantu nasabah dalam pembiayaan
kegiatan multiguna. Kontrakan rahn
dipakai pada perbankan dalam dua (2) hal:
1. Sebagai
prinsip, artinya sebagai akad tambahan tehadap produk lain, seperti mudharabah. Bank harus menahan barang
nasabah sebagi konsekunsi dari akad ini.
2. Sebagai
produk pijaman, artinya bank tidak memperoleh apa-apa kecuali imbalan atas
penyimpanan, pemeliharaan, asuransi, dan admistrasi barang yang digadai. Oleh
karna itu produk ini biasanya diterapkan untuk keperluan sosial, seperti
pendidikan dan kesehatan.
Barang
yang digadai wajib memenuhi kriteria:
1. Milik
nasabah sendiri.
2. Jelas
ukuran, sifat, jumlah, dan nilai tentukan berdasarkan nlai riil pasar.
3. Dapat
dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank
Atas
izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadai dengan tidak
mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang
digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggung jawab.
Apabilah
nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas
pemerintah hakim/qadhi. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut
dengan izin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kelebihan
tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hal hasil penjualan tersebut lebih kecil
dari kewajiban, nasabah wajib menutupi kekurangannya.
JASA
PERBANKAN
Bank syari’ah dapat melakukan berbagai
pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapatkan imbalan berupa fee atau komisi. Jasa perbankan tersebut
antara lain berupa wakalah, sharf,
kafalah, ijarah, dan wadi’ah amanah.
Wakalah (Arranger,Agency)
Wakalah
dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan atau jasa tertentu, seperti pembukaan
L/C, inkaso dan transfer uang.
Bank
dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum.
Khusus untuk pembukaan L/C, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka
penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat
dilakukan dengan pembiayaan Murabahah,
Mudharabah, atau Musyarakah.
Kelalaian
dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena force majeure menjadi tanggung jawab
nasabah.
Apabila
bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-masing bank tidak boleh
bertindak sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali dengan seizin
nasabah.
Tugas,
wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah. Setiap
tugas yang dilakukan harus mengatasnamakan nasabah dan harus mampu dilaksanakan
oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya
tersebut, bank mendapakan imbalan (fee)
berdasarkan kesepakatan bersama.
Pemberian kuasa
berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dan
bank.
Sharf (Jual Beli Valuta
Asing)
Pada
prinsipnya jual beli valuta asing yang sejalan dengan prinsip syariah adalah: apabila
yang dipertukarkan adalah mata uang yang sama, maka nilai mata uang tersebut
harus sama dan penyerahannya juga dilakukan pada waktu yang sama (spot).
Sedangkan
apabila dipertukarkan adalah mata uang yang berbeda maka nilai tukar uang
tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan/harga pasar dan diserahterimakan
secara tunai (spot).
Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan
tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat
mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini, dan
bank menerima dan tersebut dengan prinsip wadi’ah.
Bank mendapatkan imbalan atas jasa yang diberikan.
Ijarah (Sewa)
Bank mendapatkan imbalan berupa sewa (Ujrah) atas barang yang disewakannya. Pemeliharaan
bank yang disewakan dilakukan berdasarkan kesepakatan.
Wadi’ah Amanah(Titipan)
Jenis kegiatan Wadi’ah Amanah antara lain pelayanaan kotak simpanan (safe seposit box) dan pelayanan
administrasi dokumen (custodian).
Bank mendapat imbalan dari jasa penyimpanaan tersebut. Namun demikian bank
tidak boleh memanfaatkan barang yang dititipkan.
FUNGSI
SOSIAL
Kepedulian sosial merupakan salah satu
fungsi yang tidak terpisahkan dalam perbankan syariah. Dalam melakukan fungsi
sosial tersebut bank syariah/Unit Usaha Syariah juga bertindak sebagai lembaga Baitul Maal yang menerima dan
menyalurkan dana kebajikan. Guna menjalankan kegiatan tersebut bank syariah/Unit
Usaha Syariah wajib membentuk satuan kerja yang mengelolah dan kebajikan.
Sumber dana kebajikan dapat dipeoleh
dari infaq, zakat, shodaqoh, hibah ataupun dana sosial lainya. Sedangkan penyalurannya
ditujukan kepada orang yang berhak (mustahiq)
yang terdiri dari 8 golongan yaitu (a) Fakir,
(b) Miskin, (c) ‘Amil (pengelola zakat), (d) Mualaf (orang yang baru Islam),
(e) Hamba Sahaya, (f) Gharimin (orang yang banyak hutangnya), (g) Sabilillah
dan (h) Ibnu Sabil. Dana tersebut disalurkan antara lain dalam bentuk satunan (grant) ataupun pinjaman kebajikan (Qardhul Hasan).
Penyaluran
Dana Kebajikan
a.
Qardhul
Hasan
Unit pengelolaan dana dapat
mengalokasihkan sebagian dana kebajikan untuk pinjaman berdasarkan Qardhul Hasan. Pinjaman dapat diberikan
untuk tujuan kesejahteraan seperti pendidikan, pengusaha kecil, dan kebutuhan
darurat lainnya. Peminjaman berkewajiban untuk mengembalikan pokok pinjaman.
Namun demikian unit pengelolaan dana kebajikan tidak dapat menuntut
pengembalian lebih dari pokok pinjaman kecuali atas keikhlasan peminjam.
b.
Santunan
Kebajikan
Santuaan diberikan untuk
membantu meringankan beban ekonomi para mustahiq.
c.
Pengeluaran
lainnya
Unit pengelola dana kebajikan dapat
mengalokasikan sebagai dana tersebut untuk biaya operasional, pelatihan dan
pembinaan yang besarnya tidak melebihi porsi Amil.
Pelaporan
Dana Kebajikan
Unit pengelolah dana kebajikan, wajib
membuat laporan penerimaan dan penyaluran dana kebajikan kepada Dewan Pengawas
Syariah dan Kepala Unit Usaha Syariah.
B
A B III P E N U T U P
3.1
Kesimpulan
RINGKASAN
PRODUKSI BANK SYARIAH
Bank syariah
menawarkan produk atau jasa sbb:
a.
Penghimpunan
Dana
No
|
Produk/
Jasa
|
Prinsip
Syariah
|
1.
|
Giro
|
Wadi’ah
Yad Dhamanah
|
2.
|
Tabungan
|
Wadi’ah
Yad Dhamanah dan
Mudharabah
|
3.
|
Deposito
|
Mudharabah
|
4.
|
Simpanan khusus
|
Mudharabah
Muqayadah
|
b.
Penyaluran
Dana dan Jasa Perbankan
No
|
Produk/Jasa
|
Prinsip
Syariah
|
1
|
Dana talangan
|
Qardh
|
2
|
Penyertaan
|
Musyarakah
|
3
|
Sewa beli
|
Ijarah
Muntahiya Bittamlik (Ijarah Wa Iqtina)
|
4
|
Pembiyaan modal kerja
|
Mudharabah,
Musyarakah, atau Murabahah
|
5
|
Pembiyaan proyek
|
Mudharabah
atau Musyarakah
|
6
|
Pembiyaan sektor pertanian
|
Bai
As Salam
|
7
|
Pembiyaan untuk akusisi aset
|
Ijarah
Muntahiya Bittamlik
|
8
|
Pembiyaan ekspor
|
Mudharabah,
Musyarakah dan
Murabahah
|
9
|
Anjak piutang
|
Hiwalah
|
10
|
Letter of credit L/C
|
Wakalah
|
11
|
Garansi bank
|
Kafalah
|
12
|
Inkaso,transfer
|
Wakalah
dan
Hawalah
|
13
|
Pinjaman sosial
|
Qardhul
Hasan
|
14
|
Surat berharga
|
Mudharabah,Qardh,
Bai Al Dayn
|
15
|
Safe deposito box
|
Wadi’ah
Amanah
|
16
|
Jual beli valas
|
Sharf
|
17
|
Gadai
|
Rahn
|
D
A F T A R P U S T A K A
1. Al
Anshari, Mahmoud, DR., dkk, Perbankan Islam,
Sejarah Prinsip dan Operasional, terjemahan Syahril Mukhtar Muhammad,
Jakarta: Minaret, 1993
2. Aziz,
H.M. Amin, Mengembangkan Bank Islam di
Indonesia, Jakarta: Bangkit, 1992
3. Antonio,
H.M. Syafi’i M.Sc. Produk Syariah dan
Kemungkinan Penerapannya dalam Sistem Perbankan Islam, Paper, International
Islamic University, Malaysia.
4. Bank
Islam Malaysia Berhard, Operasi Bank Islam,
Kuala Lumpur.
5. Bank
Indonesia, Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Bank Bagi Hasil, Jakarta, 1992
6. Bank
Indonesia, Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Bank Bagi Hasil, Jakarta: Biro Penelitian dan Pengembangan
Perbankan Bank Indonesia, 1992
7. Bank
Indomesia, Penunjuk Pelaksanaan Pembukaan
Kantor Bank Syariah, 1999
8. Bank
Muamalat Indonesia, Neraca dan Laporan
Perhitungaan Laba Rugi Tahun 1994. Paper dan Brosur, Jakarta, 1999
9. Elliot,
John. Pakistan’s Switch to Islamic
Banking, Financial Times, Agustus 15, 1984.
10.
Home, George, Prof. Islamic Banking, Heriot Watt University, Edinburgh, 1986.
11.
Parker, Peter, An Interest in Islam, Banking World, August,1984.
12.
Perwaatmadja, Karnaen, MPA dan H.M.
Syafi’i Antonio, M.Sc. Apa dan bagaimana
Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakap, 1992
13.
Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan Edisi ke tiga, Lembaga Penerbit: FE UI,
2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar