Kamis, 11 Desember 2014

catatan lepas, polemik demokrasi di Indonesia


LANGSUNG = KORUPSI
TIDAK LANGSUNG = KKN

DEMOKRASI. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Merupakan pengertian sederhana yang selama ini tertanam dalam pola pikir warga Negara, khususnya Indonesia yang menggunakan bentuk pemerintahan demokrasi dimana peran dan pengaruh rakyat sangat besar bagi pemerintahan. Mengusung artian dari, oleh dan untuk rakyat, demokrasi diartikan sebagai sistem pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Setiap warga Negara memiliki hak untuk turut berperan dalam partisipasinya dalam perumusan, pengembangan dan pembuatan hukum yang mencakup kondisi sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Di Indonesia, sistem demokrasi yang diharapkan adalah sistem pemerintahan yang selaras dengan nilai-nilai pancasila dan karakter bangsa Indonesia. Namun, paradigma ‘dari, oleh dan untuk rakyat’ semakin lama semakin tergerus oleh permainan sistem pemerintahan di Negara ini. Saat ini, demokrasi menghadapi tantangan besar yang berkaitan dengan kualitas demokrasi itu sendiri yang sekarang bahkan mengancam pertahanan demokrasi di Indonesia.
Masyarakat Indonesia saat ini tengah disibukkan oleh persoalan mengenai polemik demokrasi terkait dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada melalui DPRD oleh DPR RI yang dinilai telah mengintai prinsip dalam berdemokrasi yang beberapa pekan ini menjadi perbincangan hangat di berbagai media.
Pemilihan langsung oleh rakyat merupakan buah dari perjuangan reformasi sejak pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie. Semangat reformasi yang telah diperjuangkan diperlukan penegasan kembali dalam menentukan sistem Pilkada ke depannya. Karena hal itulah, pemberlakuan Pilkada melalui DPRD atau tidak langsung dianggap dapat mencabut hak konstitusional warga Negara untuk terlibat aktif dalam politik dengan memilih langsung pemimpinnya. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945 pasal 18 ayat (4) tentang kedaulatan rakyat. Pengalihan wewenang Pilkada ke tangan DPRD dinilai bukan sebuah solusi cerdas untuk sistem demokrasi di Indonesia yang di prediksi akan mengalami kemunduran pertumbuhan demokrasi jika sistem ini benar-benar dilakukan.
Sistem kepala daerah yang dipilih oleh lembaga legislatif sebenarnya bukanlah hal yang baru di negeri ini, sebelum Indonesia merdeka jabatan kepala daerah memiliki sistem atau konstitusi yang mengaturnya. Namun saat ini, usulan untuk mengembalikan hak pemilihan kepala daerah kepada lembaga legislatif menorehkan pro dan kontra. Banyak pendapat yang menguar, jika pemilihan kepala daerah melalui DPRD dilaksanakan, hal ini akan menciderai nilai demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia.
Jika ditinjau lebih lanjut, kedua sistem pemilihan baik langsung maupun tidak langsung memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Pemilihan kepala daerah secara langsung tidak sepenuhnya sempurna, bahkan sistem demokrasi ini sering menimbulkan beberapa polemik, diantaranya yang paling passif adalah persoalan money politic. Seperti dalam pemilihan Gurbernur, Bupati dan Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat dikeluhkan memicu terjadinya berbagai korupsi oleh sejumlah kepala daerah. Pernyataan tersebut dikatakan logis mengingat banyaknya kasus korupsi yang selama ini menjerat kepala daerah. Hal ini terjadi karena adanya pola pikir beberapa masyarakat yang tidak akan memberikan suaranya jika calon kepala daerah tidak memberikan kompensasi secara langsung. Banyaknya jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang besar sehingga hampir tiap hari ada Pilkada di wilayah Indonesia menyebabkan biaya Pilkada sangat mahal sehingga jika bercermin dari kejadian tersebut maka bukanlah hal yang tidak mungkin bahwa inilah akar permasalahan atau penyebab awal terjadinya korupsi merebak di Indonesia.
Perbaikan tata cara dan pengawasannya serta edukasi kepada masyarakat dalam memberikan hak suaranya secara tepat dapat mengurangi kasus korupsi terutama jika ada calon kepala daerah yang ingin ‘membeli suara’ mereka. Tetapi apapun yang terjadi, partisipasi masyarakat sangat diperlukan jika Indonesia yang menganut sistem demokrasi langsung bisa lebih legitimate dalam menentukan pilihannya terhadap kepala daerah yang telah terpilih. Sehingga “The Rising Star” yang dipilih oleh rakyat dapat membuktikan kredibilitas, bertanggung jawab serta berintegritas yang tinggi dikarenakan terpilih sesuai dengan keinginan rakyat dalam menyalurkan aspirasi mereka.
Sementara dalam pemilihan tidak langsung, efisiensi pendanaan menjadi alasan utama pemilihan tidak langsung jauh lebih baik daripada pemilihan langsung. Selain masalah biaya politik yang dinilai tinggi dan kasus korupsi, konflik horizontal antar para calon maupun pendukung menjadi salah satu pokok persoalan yang mendasari usulan pemilihan tidak langsung di Indonesia. Namun, pada kenyataannya, Pilkada tidak langsung tidak juga dapat menjamin berkurangnya politik uang, bahkan justru makin parah. Pilkada melalui lembaga legislatif DPRD selain dapat menghilangkan hak rakyat dalam berdemokrasi juga dapat menimbulkan praktik KKN, masalah suap pada masyarakat dapat beralih menjadi suap kepada anggota DPRD. Serta dapat mencegah potensi lahirnya para pemimpin hebat dari rakyat. Disamping itu, Pilkada oleh DPRD akan menyebabkan ambiguitas dikarenakan pemilihan melalui DPRD akan menyebabkan kekuasaan DPRD lebih besar dari kepala daerah sehingga kurang adanya keseimbangan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Pemilihan oleh DPRD juga akan menjadi ajang transaksional dalam perebutan kursi kekuasaan, rentetan-rentetan ketidakseimbangan ekonomi – politik dikarenakan tampuk kekuasaan yang menggiurkan di zaman ini. Saling menjatuhkan masing-masing para koalisi kedepannya akan selalu menghantui jika pemilihan Pilkada tidak langsung benar-benar dijalankan dalam sistem di Indonesia.
Karena itu, ‘Semangat Reformasi’ perlu di ke depankan kembali dan perlu adanya perbaikan sistem Pilkada langsung dan tidak serta merta mengembalikan keputusan mandaritas ke tangan DPRD. Dan yang terpenting, janganlah nafsu politik jangka pendek mengorbankan kepentingan bangsa dan Negara dalam jangka panjang. Realitasnya, politik nasional ini selalu terulang lima tahunan pemilu demokrasi seperti yang dikatakan oleh Jimm Reid bahwa rakyat kecil selalu ditinggal oleh elite politik yang dulu pernah berjanji akan membela dan berjuang kepentingan mereka terjadi di Indonesia.
Lantas? Sistem mana yang harus digunakan di Negara ini? Sistem apapun baik demokrasi langsung maupun tidak langsung harus benar-benar mendahulukan kepentingan rakyat dahulu. Mengingat banyaknya kontroversi baik pro dan kontra, seperti dilansir di beberapa media bahwa KPU dan BAWASLU telah menyepakati akan mengadakan Pilkada serentak pada Tahun 2015. Kesepakatan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gurbernur, Bupati dan Walikota. Perppu itu diterbitkan oleh Presiden ke – enam RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Pilkada serentak ini merupakan salah satu cara untuk menghemat pengeluaran pemerintahan dalam mengadakan Pilkada langsung jika dilakukan secara terpisah. Tetapi Pilkada yang direncanakan akan dilakukan tahun depan masih menggunakan dana APBD masing-masing daerah dan pada Pilkada selanjutnya akan menggunakan dana APBN. Upaya-upaya yang akan dilakukan pemerintah ke depannya dalam menjalankan roda pemerintahan sebaiknya kita sebagai warga negara Indonesia wajib mengapresiasikannya untuk memajukan pertumbuhan demokrasi. Dengan demikian, harapan-harapan bangsa Indonesia dapat terwujud dengan sistem demokrasi yang selalu mengalami perbaikan bukan hanya menjadi angan-angan yang dibiarkan saja oleh para elite politik.(day&fa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INFLASI: KURVA PHILLIPS

MODEL DINAMIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN AGREGRATE Seperti namanya, model baru ini menekankan sifat dinamis dari fluktuasi ekonomi sebagai &qu...