LANGSUNG = KORUPSI
TIDAK LANGSUNG = KKN
DEMOKRASI. Dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Merupakan pengertian sederhana yang selama ini tertanam
dalam pola pikir warga Negara, khususnya Indonesia yang menggunakan bentuk pemerintahan
demokrasi dimana peran dan pengaruh rakyat sangat besar bagi pemerintahan. Mengusung
artian dari, oleh dan untuk rakyat, demokrasi diartikan sebagai sistem pemerintahan
yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang
dapat mengubah hidup mereka. Setiap
warga
Negara memiliki hak untuk turut berperan
dalam partisipasinya dalam
perumusan, pengembangan dan pembuatan hukum yang mencakup kondisi sosial,
ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan yang
memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Di Indonesia, sistem demokrasi
yang diharapkan adalah sistem pemerintahan yang selaras dengan nilai-nilai pancasila
dan karakter bangsa Indonesia. Namun, paradigma ‘dari, oleh dan untuk rakyat’ semakin lama semakin tergerus oleh permainan
sistem pemerintahan di Negara ini. Saat ini, demokrasi menghadapi tantangan besar
yang berkaitan dengan kualitas demokrasi itu sendiri yang sekarang bahkan mengancam pertahanan demokrasi
di Indonesia.
Masyarakat
Indonesia saat ini tengah disibukkan oleh persoalan mengenai polemik demokrasi terkait
dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada melalui DPRD oleh DPR RI
yang dinilai telah mengintai prinsip dalam berdemokrasi yang beberapa pekan ini menjadi perbincangan
hangat di berbagai media.
Pemilihan
langsung oleh rakyat merupakan buah dari perjuangan reformasi sejak pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Semangat reformasi yang telah
diperjuangkan diperlukan penegasan kembali dalam menentukan
sistem Pilkada ke depannya.
Karena hal itulah, pemberlakuan Pilkada
melalui DPRD atau tidak langsung
dianggap
dapat mencabut hak konstitusional warga Negara untuk terlibat aktif dalam politik
dengan memilih langsung pemimpinnya. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan
UUD 1945 pasal 18 ayat (4) tentang kedaulatan rakyat. Pengalihan wewenang Pilkada ke tangan DPRD dinilai bukan sebuah
solusi cerdas untuk sistem demokrasi di Indonesia yang di prediksi akan mengalami
kemunduran pertumbuhan
demokrasi jika sistem ini benar-benar dilakukan.
Sistem
kepala daerah yang dipilih oleh lembaga legislatif sebenarnya bukanlah hal yang
baru di negeri ini, sebelum Indonesia merdeka jabatan kepala daerah memiliki sistem
atau konstitusi yang mengaturnya. Namun saat ini, usulan untuk mengembalikan hak
pemilihan kepala daerah kepada lembaga legislatif menorehkan pro dan kontra. Banyak
pendapat yang menguar, jika pemilihan kepala daerah melalui DPRD dilaksanakan,
hal ini akan menciderai nilai demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia.
Jika
ditinjau lebih lanjut, kedua sistem pemilihan baik langsung maupun tidak langsung
memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Pemilihan kepala daerah secara langsung
tidak sepenuhnya sempurna, bahkan sistem demokrasi ini sering menimbulkan beberapa
polemik, diantaranya yang paling passif
adalah
persoalan money politic. Seperti
dalam pemilihan Gurbernur, Bupati dan Walikota yang dipilih langsung oleh
rakyat dikeluhkan memicu terjadinya berbagai korupsi oleh sejumlah kepala
daerah. Pernyataan tersebut dikatakan logis mengingat banyaknya kasus korupsi
yang selama ini menjerat kepala daerah. Hal ini terjadi karena adanya pola pikir beberapa masyarakat yang tidak
akan memberikan suaranya jika calon kepala daerah tidak memberikan kompensasi secara
langsung. Banyaknya jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang besar sehingga
hampir tiap hari ada Pilkada di wilayah Indonesia menyebabkan biaya Pilkada
sangat mahal sehingga jika bercermin dari kejadian tersebut maka bukanlah hal
yang tidak mungkin bahwa inilah akar permasalahan atau penyebab awal terjadinya
korupsi merebak di Indonesia.
Perbaikan tata cara dan pengawasannya serta edukasi
kepada masyarakat dalam memberikan hak suaranya secara tepat dapat mengurangi
kasus korupsi terutama jika ada calon kepala daerah yang ingin ‘membeli suara’
mereka. Tetapi apapun yang terjadi, partisipasi masyarakat sangat diperlukan
jika Indonesia yang menganut sistem demokrasi langsung bisa lebih legitimate dalam
menentukan pilihannya terhadap kepala daerah yang telah terpilih. Sehingga “The Rising Star” yang dipilih oleh
rakyat dapat membuktikan kredibilitas, bertanggung jawab serta berintegritas
yang tinggi dikarenakan terpilih sesuai dengan keinginan rakyat dalam
menyalurkan aspirasi mereka.
Sementara
dalam pemilihan tidak langsung, efisiensi pendanaan menjadi alasan utama pemilihan
tidak langsung jauh lebih baik daripada pemilihan langsung. Selain masalah biaya
politik yang dinilai tinggi dan kasus korupsi, konflik horizontal antar para calon
maupun pendukung menjadi salah satu pokok persoalan yang mendasari usulan pemilihan
tidak langsung di Indonesia. Namun, pada kenyataannya, Pilkada tidak langsung tidak juga dapat menjamin
berkurangnya politik uang, bahkan justru makin parah. Pilkada melalui lembaga legislatif
DPRD selain dapat menghilangkan hak rakyat dalam berdemokrasi juga dapat menimbulkan
praktik KKN, masalah suap pada masyarakat dapat beralih menjadi suap kepada anggota
DPRD. Serta dapat mencegah potensi lahirnya para pemimpin hebat dari rakyat. Disamping
itu, Pilkada oleh DPRD
akan menyebabkan ambiguitas dikarenakan pemilihan melalui DPRD akan menyebabkan
kekuasaan DPRD lebih besar dari kepala daerah sehingga kurang adanya keseimbangan
antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Pemilihan oleh DPRD juga akan
menjadi ajang transaksional dalam
perebutan kursi kekuasaan, rentetan-rentetan ketidakseimbangan
ekonomi – politik dikarenakan
tampuk kekuasaan yang menggiurkan di zaman ini. Saling menjatuhkan
masing-masing para koalisi kedepannya akan selalu menghantui jika pemilihan Pilkada tidak
langsung benar-benar dijalankan dalam sistem di Indonesia.
Karena
itu, ‘Semangat Reformasi’
perlu di ke depankan
kembali dan perlu adanya perbaikan sistem Pilkada langsung dan tidak serta
merta mengembalikan keputusan mandaritas ke tangan DPRD. Dan yang terpenting,
janganlah nafsu politik jangka pendek mengorbankan kepentingan bangsa dan
Negara dalam jangka panjang. Realitasnya, politik nasional ini selalu terulang lima tahunan pemilu
demokrasi seperti yang dikatakan oleh Jimm
Reid bahwa rakyat kecil selalu ditinggal oleh elite politik yang dulu
pernah berjanji akan membela dan berjuang kepentingan mereka terjadi di
Indonesia.
Lantas?
Sistem mana yang harus digunakan di Negara ini? Sistem apapun baik demokrasi langsung maupun tidak
langsung harus benar-benar mendahulukan kepentingan rakyat dahulu. Mengingat
banyaknya kontroversi baik pro dan kontra, seperti dilansir di beberapa media bahwa
KPU dan BAWASLU telah menyepakati akan mengadakan Pilkada serentak pada Tahun 2015.
Kesepakatan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gurbernur, Bupati dan
Walikota. Perppu itu diterbitkan oleh Presiden ke – enam RI, Susilo Bambang
Yudhoyono. Pilkada serentak ini merupakan salah satu cara untuk menghemat
pengeluaran pemerintahan dalam mengadakan Pilkada langsung jika dilakukan
secara terpisah. Tetapi Pilkada yang direncanakan akan dilakukan tahun depan
masih menggunakan dana APBD masing-masing daerah dan pada Pilkada selanjutnya
akan menggunakan dana APBN. Upaya-upaya yang akan dilakukan pemerintah ke
depannya dalam menjalankan roda pemerintahan sebaiknya kita sebagai warga
negara Indonesia wajib mengapresiasikannya untuk memajukan pertumbuhan demokrasi.
Dengan demikian, harapan-harapan bangsa Indonesia dapat terwujud dengan sistem
demokrasi yang selalu mengalami perbaikan bukan hanya menjadi angan-angan yang
dibiarkan saja oleh para elite politik.(day&fa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar