Jumat, 03 April 2015

konsep dasar ekonomi islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Ekonomi Islam sebagai salah satu cabang ilmu menuntun pelaku ekonomi pada pencapaian  kesejahteran hidup  melalui  dan distribusi  sumber daya  yang didasarkan pada maqosid syari`ah (Chapra, 2001). Aturan ini juga merupakan  perangkat nilai, moral etis dalam beraktifitas lainnya yang memberikan daya kontrol bagi setiap muslim dalam menjalankan perilaku kehidupan ekonominya. Pada era kekinian tampaknya ekonomi Islam telah hadir sebagai solusi alternatif di tengah pertarungan antara sistem ekonomi kapitalis dan sosialisme sebagai sistem yang sedang mengalami kebuntuhan karena belum mampu memecahkan segenap permasalahan ekonomi.
Sehingga makalah ini dihadirkan untuk menjadi bahan pengantar diskusi seputar konsep dasar ekonomi Islam. Didalamnya  akan terkemukakan deskripsi pemaknaan basis  tujuan hidup  umat Islam, makna ilmu ekonomi Islam, dasar-dasar ekonomi Islam, tujuan serta ciri  ekonomi Islam, metodologi ekonomi Islam dengan beberapa ulasan tambahan dan analisa lainnya dari beberapa referensi yang ada. Dengan demikian diharapkan dalam bahasan ini akan didapatkan gambaran konsepsi yang mendasar tentang ekonomi Islam.
B.       Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang terdapat pada makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian dari ekonomi islam?
2.      Apa dasar-dasar dari konsep ekonomi islam?
3.      Apa pula tujuan-tujuan dari ekonomi islam?
C.      Tujuan
Adapun tujuan permasalahan di atas adalah :
1.      Untuk mengetahui pentinnya arti dari ekonomi islam
2.      Untuk mengetahui dasar-dasar dari ekonomi islam
3.      Untuk mengetahui perlunya adanya tujuan-tujuan dari ekonomi islam
BAB II
PEMBAHASAN

A.         Memaknai Tujuan Hidup Muslim
Tujuan hidup manusia secara universal adalah mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan biasanya tercapai ketika varian-varian hidup yang melingkupinya juga terpenuhi baik aspek materi maupun non materi. Kecenderungan pemenuhan materi yang memadahi akan membuat seseorang mendapatkan kebahagiaan,  karena hidupnya cenderung sejahtera. Dalam prinsip Islam, kesejahteraan bukan semata ditentukan oleh materi dan tidak hanya milik seseorang atau keluarga tertentu, tetapi juga untuk orang lain secara menyeluruh. Islam sebagai  agama yang rahmatan lil alamin selain mengajarkan kepada pemenuhan non materi berupa spiritualitas, namun juga mengajarkan tuntunan pemenuhan pencapaian kebutuhan ekonomi, yakni pemenuhan  kebutuhan ranah materi.
Untuk mencapai tujuan hidup yang sejahtera tadi, ada tiga pokok yang dapat dipahami dari ajaran Islam, yaitu tentang tujuan hidup adalah kemenangan (falah), lalu kemanfaatan (maslahah) dan permasalahan dalam pencapaiannya (P3EI, 2008: 2).  Falah yang diartikulasikan sebagai  kemenangan hidup di dunia dan akhirat baik pada sisi material  maupun spiritual. Falah ini ini memiliki tiga unsur kelangsungan hidup, kebebasan  berkeinginan, dan  kekuatan  serta harga  diri.Upaya dan ikhtiar yang dijalankan oleh  umat  manusia  di dunia ini dalam pandangan  Islam adalah upaya  ibadah yang ditujukan untuk pencapaian kemenangan dunia dan akhirat. Sehingga setiap ungkapan,  tindakan  dan bahkan keyakinannya dijalankan berdasar pada  petunjuk  sang pencipta yang ditulis dalam kalam suciNya, al-Quran. Disinilah manusia mendapatkan  kesejahteraan  secara  menyeluruh  baik materi dan spiritual  yang bernilai jangka pendek dunia dan jangka  panjang akhirat.
Adapun Maslahah merupakan dampak positif dari memperoleh falah, yakni kebutuhan yang tercapai secara seimbang, di mana falah ini akan memberikan situasi kebahagiaan, sehingga masyarakat mendapatkan maslahah. Maslahah juga dapat dinilai sebagai kemanfaatan  baik material maupun  non material  yang menjadikan manusia pada  keadaan mulia. Maslahah ini  mashur  diungkapkan oleh imam asy-Syatibi pada lima  hal,  agama,  jiwa,  intelektual, keluarga dan material. Dengan demikian  ikhtiar  yang dijalankan oleh  penduduk berdasarkan pada  konsep ini  harus senantiasa menimbang pada pencapaian  falah yang didasarkan pada unsur  maslahah. (P3EI, 2008:6).
Pokok ketiga adalah permasalahan dari pencapaian falah yang melahirkan kompleksitas maslahah. Hal ini karena dalam pencapaian  falah manusia  dibatasi dengan   faktor kelemahan, keterbatasan kemampuan, yang dalam ekonomi diistilahkan dengan kelangkaan. Alam semesta yang tercipta dengan keterbatasan ini membuka peluang kelangkaan karena ketidakmeratan  distribusi  sumber daya, keterbatasan manusia dan konflik yang dilahirkan dari  antartujuan (P3EI, 2008:9). Disinilah kita menemukan  peran dan fungsi ilmu ekonomiyang diharapkan mampu menjadi solusi atas masalah keterbatasan, karena ilmu ekonomi mencakup  aspek dasar kosumsi,  produksi dan distribusi yang ketiganya  diupayakan untuk pemenuhan maslahah tadi. Dengan demikian penting dalam mewujudkan kesejahterana hidupnya manusia  berpikir  tentang ekonomi dan  sebagai umat Islam maka  ilmu  ekonomi yang berlandaskan  Islam itulah yang kemudian menjadi titik sentral pencapaian  falah. Sub bab berikut menjelaskan lebih  detail tentang pemaknaan dan paradigma  sistem ekonomi Islam.
B.    Pengertian Ekonomi Islam dan Paradigma Sistemnya
Pengertian masa kini ekonomi ialah satu kajian yang berkenaan dengan perilaku manusia dalam menggunakan sumber dayanya untuk memenuhi keperluan mereka. Sedangkan dalam pengertian Islam, ekonomi adalah satu sains sosial yang mengkaji masalah masalah ekonomi manusia yang didasarkan kepada asas asas dan nilai nilai Islam. Ekonomi Islam seringkali dimasukkan sebagai cabang ilmu yang mempelajari metode memahami dan memecahkan  masalah ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam. Perilaku manusia  sebagai komunitas sosial yang didasarkan pada ajaran Islam inilah yang menjadi dasar pembentukan  perekonomian Islam itu sendiri. Dengan demikian ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan harta benda menurut perpektif Islam (tadbîr syu’un al-mâl min wijhah nazhar al-islam) (An-Nabhani, 1990).
Ekonomi Islam sebagai disiplin ilmu dan sistem yang baru, kehadirannya tidak terlepas dari ketidaktuntasan sistem ekonomi yang ada dalam memecahkan permasalah ekonomi. Ekonomi Islam secara epistemologis kiranya dapat dibagi menjadi dua disiplin ilmu; Pertama, ekonomi Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda (al-mâl). Ekonomi Islam normatif ini oleh Taqiyuddin an-Nabhani (1990) disebut sistem ekonomi Islam (an-nizham al-iqtishadi fi al-Islâm). Kedua, ekonomi Islam positif, yaitu studi konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda, khususnya yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa.
Dikotomi antara  normatif dan positif ini  dalam ekonomi konvensional  merupakan penyimpangan dari sejarah awalnya. Sebagaimana disebutkan pula oleh Adiwarman (2001:14) tentang buku pertama  ekonomi   pertama yang ditulis oleh Adam Smith, Theory of Moral Sentiment (1759) tidak membedakan  antara  realitas dan  norma, sebelum   kemudian   menulis buku An Inquiry into  the  Nature  and Causes  of the Wealth of Nations (1776). Oleh karenanya ekonomi Islam pada dasarnya diletakkan pada  pendekatan  integratif  antara  normatif dan positif.  Islam menempatkan  etika  sebagai kerangka dalam  ilmu ekonominya. Dengan demikian  ekononomi Islam dikonsepkan sebagai kerangka  nilai yang integratif yang ditujukkan untuk pencapaian kemenangan (falah) di mana ekonomi Islam  tidak hanya sebagai ulasan deskriptif  empiris  atas perilaku umat Islam, namun  juga   membentuk suatu perekonomian yang membawa umat manusia dalam pencapaian  kemenangan  hidupnya yang hakiki ( P3EI, 2008:26).
Ekonomi Islam sendiri dibangun atas beberapa pilar yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Dalam perspektif Muhammad (2007), ekonomi Islam dengan konfigurasinya tersusun atas beberapa bagian ibaratkan sebuah bangunan rumah. Pada bagian dasarnya atau landasan teori ekonomi Islam terbangun atas beberapa pokok prinsip, yakni prinsip tauhid, al-Adl, nubuwah, khilafah dan ma’ad (Chapra, 2000:6). Adapun paradigma sistem ekonomi Islam terbagi dalam 2 (dua) bagian; paradigma umum, yaitu aqidah Islamiyah yang menjadi landasan pemikiran (al-qa’idah fikriyah) bagi segala pemikiran Islam, seperti sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, sistem pendidikan Islam, dan sebagainya. Kedua adalah paradigma khusus (cabang) sebagai sejumlah kaidah umum yang lahir dari aqidah Islam  yang menjadi landasan bagi bangunan sistem ekonomi Islam.
C.    Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Islam
Sistem Ekonomi menurut pandangan Islam mencakup pembahasan tentang tata cara perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi maupun distribusi.  Sebagaimana dikutip oleh Muhammad (2007:12-13), menurut an-Nabhany (1990) asas yang dipergunakan untuk membangun sistem ekonomi dalam pandangan Islam berdiri dari tiga pilar (fundamental) yakni bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (al-milkiyah), lalu bagaimana pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta  bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tauzi’ul tsarwah bayna an-naas).           
Pilar Pertama : Pandangan Tentang Kepemilikan (AI-Milkiyyah)
Kepemilikan merupakan izin as-Syari’ (Allah SWT) untuk memanfaatkan zat tertentu. Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT. Hal ini didasarkan pada ayat : “Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.”(QS. An-Nuur : 33). Oleh karena itu, harta kekayaan itu adalah milik Allah semata. Kemudian Allah SWT telah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan dibagikan kepada mereka.
Allah telah memberikan izin terhadap beberapa transaksi serta melarang bentuk-bentuk transaksi yang lain. Allah melarang seorang muslim untuk memiliki minuman keras dan babi, sebagaimana Allah melarang siapa pun yang menjadi warga negara Islam untuk memiliki harta hasil riba dan perjudian. Dalam pandangan Islam kepemilikan (property) dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1). Kepemilikan individu (private property); (2) kepemilikan umum (collective property); dan (3) kepemilikan negara (state property) (Sami, 1990: 28)
1)  Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut. An-Nabhaniy (1990) mengemukakan sebab-sebab kepemilikan yang terbatas pada lima hal, yakni bekerja, warisan, kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup, harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat, harta-harta yang diperoleh dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
2). Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin as-Syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang akan sekelompok kecil orang. Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok :
a. Benda-benda yang merupakan fasilitas umum, dimana kalau tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan kesulitan dan orang akan berpencar-pencar dalam mencarinya
b. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar
Bahan tambang dapat dikiasifikasikan menjadi dua, yaitu bahan tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
c. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.Yang juga dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum adalah benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh pribadi.
3). Kepemilikan Negara (state property)
Harta-harta yang termasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara untuk memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. (Solahudin, 2001:32)
Pilar Kedua : Pengelolaan Kepemilikan (at-tasharruf fi al milkiyah)
Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. kemudian Allah telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasi harta tersebut melalui izin-Nya sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya (Siddiqi,1985 &Naqvi, 1981). Hanya saja dalam memanfaatkan dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut ia tetap wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengembangan harta. Dan hendaknya harta tersebut tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-barang yang haram seperti minuman keras, babi.
Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective property) itu adalah hak negara, karena negara adalah wakil ummat. Adapun mengelola kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara (state property) dan kepemilikan individu (private property) telah jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli, penggadaian dan sebagainya.
Pilar Ketiga : Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Manusia
Karena distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi kekayaan kepada individu, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta transaksi-transaksi yang wajar (Sholahudin, 2001: 32-33).
Secara umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan menjadi dua, yakni mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi. Mekanisme ekonomi yang ditempuh sistem ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan distribusi kekayaan diantara manusia yang seadil-adilnya dengan sejumlah cara, yakni :
  1. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan dalam kepemilikan individu.
  2. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan kepemilikan (tanmiyah al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
  3. Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
  4. Mengatasi peredaran kekayaan di satu daerah tertentu saja dengan menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
  5. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
  6. Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
  7. Pemanfaatan secara optimal hasil dari barang-barang (SDA) milik umum (al- milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi tersebut adalah :
1. Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
2. Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
3. Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu
4. Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain.

D.     Prinsip dan Tujuan Utama Sistem Ekonomi Islam.
Dalam sistem ekonomi Islam terdapat beberapa prinsip, diantaranya adalah:
  1. Hak milik peribadi, Islam memperakui pemilikan hak perseorangan dan menempatkan hak ini ditempat yang paling sesuai dengan fitrah manusia. Islam melihat bahawa manusia adalah makhluk yang memiliki dorongan dorongan memiliki dan menyukai harta benda.
  2. Kebebasan mencari sumber pendapatan,Islam memberikan kepada setiap orang hak dan kebebasan dalam menentukan corak kehidupannya. la bebas memilih kerja kerja yang ia minati asalkan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
  3. Ke’adilan sosial; kegiatan ekonomi adalah sebahagian daripada ruang lingkup Islam yang syumul.
  4. Hak pewarisan; di antara prinsip yang ditetapkan oleh Islam dalam memperolehi hak milik ialah melalui hak pewarisan. Hak pewarisan berdasarkan kepada fitrah manusia, keadilan dan penghormatan terhadap kehendak dan cita cita pemilik. Islam memandang bahwa hak pewarisan adalah salah satu alat yang utama bagi mencapai ke’adilan sosial di dalam masyarakat.
Adapun tujuan-tujuan ekonomi menurut Islam adalah
  1. Menunaikan sebahagian daripada tuntutan ibadah
  2. Menegakkan keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat
Sistem ekonomi yang berteraskan kepada kerjasama dan kesaksamaan akan mewujudkan rasa kasih sayang, sifat tanggungjawab dan tolong menolong di antara satu sama lain.
  1. Menghapuskan kemiskinan dan keadaan guna tenaga penuh serta kadar perkembangan ekonomi yang optimum.
Di dalam Islam kegiatan ekonomi adalah satu ibadah dan ia merupakan amanah Allah kepada orang orang yang beriman. Kegiatan ekonomi mempunyai kesan terhadap kerohanian dan keimanan kaum muslimin. Maka tujuan ekonomi di dalam Islam ialah, pertama; untuk menghapuskan ataupun mengatasi masalah kemiskinan, kedua; mewujudkan peluang pekerjaan yang penuh, dan ketiganya; mengekalkan kadar pertumbuhan yang optimum dan sesuai menurut perkembangan kebendaan dan kerohanian masyarakat.



  1. Mewujudkan kestabilan barangan sejajar dengan nilai mata uang
Sistem ekonomi mewujudkan kestabilan pasaran melalui sikap setup anggota masyarakat yang tidak mementingkan diri sendiri serta sentiasa bersedia membantu dan berkorban demi kepentingan anggota anggota masyarakat yang lain.
  1. Mengekalkan keamanan dan kepatuhan terhadap undang-undang
Asas asas ekonomi Islam bersandarkan kepada tuntutan tuntutan iman dan akhlak serta sedikit kuatkuasa undang undang. Namun dalam pengertian sistem akhlak Islam yang sebenar, tuntutan tuntutan akhlak ini tidak dapat dilaksanakan secara teguh tanpa bernaung di bawah satu sisten yang mempunyai kewibawaan untuk menegakkan undang undang.
  1. Mewujud keharmonian hubungan antarabangsa dan memastikan kekuatan pertahanan negara. Menurut Islam keharmonian hubungan antarabangsa wujud di atas dasar kerjasama sosial dan ekonomi dan bukan di atas penindasan terhadap keduanya.
Adapun ciri-ciri utama ekonomi Islam adalah sistem ekonomi Islam berdasarkan pada sistem Islam yang menyeluruh dan mewujudkan keseimbangan di antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
E.     Metodologi Ekonomi Islam
Pencapaian ekonomi Islam sebagaimana disinggung di atas adalah  terwujudnya kemenangan dalam pemenuhan kebutuhan  hidup  dunia akhirat. Persoalan pertama yang muncul adalah  bagaimana  cara  mencapainya yang lebih dikenal dengan  metodologi yang digunakan dalam pencapaiannya, yaitu Islam yang didasarkan   pada   al Quran  dan  Sunah Nabi, dapat dijadikan dari kedua sumber ini pengetahuan dan kemampuan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Ada beberapa  bahasan tentang bab ini yakni, tentang   rasionalitas Islam, kedudukan dan peran etika  dan syariah Islam dalam ekonomi.
  1. Konsep rasionalitas Islam. Dalam pembahasan ekonomi  selalu dilandaskan pada asumsi mengenai perilaku ekonominya, maka dalam pengambilan keputusan diasumsikan adanya perilaku berpikir, bertindak dan  bersikap secara rasional (P3EI, 2008:27).
Terminologi  rasionalitas  dibangun atas kaidah-kaidah  logika   yang dapat diterima  akal secara universal dan  tidak dilakukan  pengujian untuk membutikannya sebagai  aksioma. Weber  menyebutkan  bahwa   rasionalitas merupakan konsepsi kultural  yang bersifat unik  sesuai dengan kondisi dan situasi yang melingkupinya.  Rasionalitas  Islam kiranya dapat dijabarkan  secara terinci  sebagai berikut :
  1. Setiap  perilaku   ekonomi   adalah  diarahkan pada  pencapaian  maslahah.  Beberapa ketentuan kaidahnya adalah bahwa Maslahah  yang lebih  besar lebih disenangi  daripda yang  lebih  kecil. Lalu maslahah kiranya dapat diikhtiarkan  secara  jangka panjang dan berkesinambungan.
  2. Setiap pelaku  ekonomi  selalu  berusaha   untuk  tidak melakukan   kemubaziran (non-wasting)
  3. Setiap  pelaku  ekonomi selalau  berusaha  untuk  tidak meminimumkan  resiko (risk aversion). Resiko merupakan  bagian yang tidak menyenangkan dan  dapat menyebabkan penurunan maslahah yang diterima. Ada beberapa  bahasan tentang aksioma  resiko, yaitu  resiko yang bernilai, resiko yang tidak bernilai
  4. Setiap  pelaku  ekonomi   dihadapkan  pada  situasi  ketidakpastian
  5. Setiap  pelaku berusaha  melengkapi  informasi  dalam  upaya   meminumkan resiko
Dalam ajaran Isam terdapat beberapa  nilai aksioma  universal yang diajarkan, yaitu  adanya  kehidupan setelah mati,  kehidupan   akhirat  sebagai akhir  atas  segala kehidupan dan  sumber  informasi yang sempuran  adalah  kitab suci Quran dan  Sunah.
Aksioma-aksioma ini menjadi  penting  bagi pelaku yang memiliki rasionalitas  Islam dalam  jangka  waktu yang   tak terbatas. Dalam basis  ajaran Islam, maka  berdasar pada aksioma quasi concavity bahwa pelaku ekonomi pasti akan melakukan   harmonisasi   maslahah   di dunia dan  akhirat  dengan  cara  mengorbankan kenikmatan  di dunia  ini demi kenikmatan   di akhirat.
  1. Etika, rasionalitas dan hubungannnya dengan syariah, fiqh dan ekonomi Islam.
Aspek  moral merupakan standar  perilaku  yang dapat  diterima oleh  masyarakat. Hal yang dianggap   rasional oleh  paham  konvensional dapat  pula  dianggap  tidak  rasional  bagi  Islam dan sebaliknya. Bagi  paham  relativisme  (utilarianisme) sebagai  contohnya adalah minuman keras merupakan tindakan rasional yang  tidak mendatangkan  kerugian masyoritas,  tetapi   minum-minuman keras  bagi Islam dapat menjauhkan diri dari maslahah  yang  diterima baik secara  agama,  fisik maupun intelektual. Ekonomi Islam  memberikan aturan  bagi perilaku  ekonomi  berdasarkan rasional ekonomi, maka  etika  perilaku  ekonomi  didasarkan pada  ajaran Islam tidak  hanya kesepakatan  sosial.
Adapun sikap rasional  islami diperoleh  karena adanya  sumber yang berasal dari  fakta  empiris dan ayat  Quran.  Dalam hal ini  syari`ah Islam berfungsi sebagai   sumber informasi  yang bersal  dari  Allah  dan  rasulnya, sedangkan fungsi yang lainnya adalah memberikan kontrol  terdapat  perilaku manusia dari  tindakan  rugi yang jauh  dari kemenangan pencapaian  tujuan  hidup (falah). Beberapa  kaidah pokok Fiqh tersebut  adalah :
a)      Pada dasarnya  setiap muamalah adalah  diperbolehkan kecuali terdapat   larangannya terdapat   daam al Quran dan Sunnah
b)      Hanya Allah yang mempunyai kuasa  menghalalkan dan mengharamkan  sesuatu.
c)      Sesuatu yang  najis  dan merusak  adalah  haram
d)     Sesuatu yang menyebabkan pada  haram  juga  dihukumi  haram
e)      Tujuan seseorang  tidak padat mengubah yang haram menjadi  halal.
f)       Halal dan haram  adalah berlaku  bagi siapapun  muslim yang berakal,  merdeka
g)      Keharusan  adanya  skala  prioritas  dalam pengambilan   keputusan
  1. Menghindari   kerusakan yang   lebih didahulukan dari mencari  kebaikan
  2. Kepentingan sosial  dan luas  diutamakan daripada kepentingan individu yang sempit
  3. Manfaat   yang kecil  dapat dikorbankan   untuk kemanfaatan yang  lebih besa
  4. Bahaya  yang   kecil dapat  dikorbankan   untuk menghidari  bahaya yang lebih besar.
  5. Kaidah-kaidah tersebut di atas  dapat dijadikan   pedoman teori  dan praktek  ekonomi Islam (P3EI, 2008 :35).
Adapun yang menjadi kerangka teori dalam ekonomi Islam adalah  adanya unsur  kebenaran dan  dan kebaikan. Dalam pandangan Islam  kebenaran dan  kebaikan  ada yang  mutlak dan ada yang relatif, kebenaran yang  mutlak   hanya  berasal  dari  Allah; al Quran dan Sunnah  sedangkan yang bersifat relatif  bersumber dari   fenomena  alam semesta. Dari pembahasan di atas tampak bahwa Islam dengan aturan syariah maupun nilai etis dan ajaran moral yang ditetapkan telah memiliki landasan konsep yang jelas pada ranah ekonomi secara menyeluruh dan memadahi dalam upaya pencapaian tujuan, falah umat Islam. Persoalan yang muncul dalam hemat saya adalah bentuk reaktualisasi dari konsep dasar yang terkandung didalamnya cenderung masih lemah dan  membutuhkan tahapan pelaksanaan lanjutan, yakni upaya harmonisasi dengan  konsep ekonomi konvensinal lainnya sejauh bahwa konsepsi-konsepsi yang diakomodasi dari luar konsep Islam tersebut memiliki keselarsan nilai serta memberikan daya dukung  yang positif.
Dengan pola yang komperhensif pada perpaduaan antara nilai-nilai agama ke dalam interaksi sosial-ekonomi, ekonomi Islam tampaknya jauh akan lebih akomodatif dalam merespon dinamika perkembangan masyarakat. Dengan demikian darapannya adalah landasan etis dan komprehensifnya aturan yang tertuang di dalam ekonomi Islam ini  akan mampu menjadi jembatan  atas perseteruan sistem ekonomi lain yang sementara lalu diagung-agungkan sebagai sebuah  sistem  ekonomi yang mapan dan final.







BAB III
PENUTUP
Simpulan
Sistem ekonomi  Islam memiliki  dasar asas yakni kepemilikan (al-Milkiyah), pengelolahan kepemilikan dan distribusi kepemilikan ditengah kehidupan manusia. Dari uraian landasan-landasan nilai yang melingkupinya, sistem ekonomi Islam hadir sebagai tawaran alternatif atas kebuntuhan sitem ekonomi dominan atas permasalahan ekonomi dewasa ini. Sistem Ekonomi Islam yang terjelaskan di atas sangat diilhami dan diselimuti dengan landasan nilai  etis dan tampaknya menjadi  penting sebagai aturan perilaku ekonomi yang semakin mengarah pada dehumanisasi, eksploitasi dan ketidakadilan serta ketimpangan sosial yang menjadi realitas sosial kehidupan manusia dalam bingkai sistem ekonomi kapitalistik.
Gerakan yang komperhensif yang mensinergikan antara nilai material-duniawi dengan nilai spiritual-ukhrowi dalam interaksi sosial-ekonomi hemat saya adalah identitas nilai etis yang mendasari  ekonomi Islam yang tidak sekedar positivistik sebagaimana konsep dasar yang menjiwai sistem ekonomi dominan ”konvensional” lainnya dewasa ini.


1 komentar:

INFLASI: KURVA PHILLIPS

MODEL DINAMIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN AGREGRATE Seperti namanya, model baru ini menekankan sifat dinamis dari fluktuasi ekonomi sebagai &qu...