BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ekonomi Islam sebagai salah satu
cabang ilmu menuntun pelaku ekonomi pada pencapaian kesejahteran
hidup melalui dan distribusi sumber daya yang
didasarkan pada maqosid syari`ah (Chapra, 2001). Aturan ini juga
merupakan perangkat nilai, moral etis dalam beraktifitas lainnya yang
memberikan daya kontrol bagi setiap muslim dalam menjalankan perilaku kehidupan
ekonominya. Pada era kekinian tampaknya ekonomi Islam telah hadir sebagai
solusi alternatif di tengah pertarungan antara sistem ekonomi kapitalis dan
sosialisme sebagai sistem yang sedang mengalami kebuntuhan karena belum mampu
memecahkan segenap permasalahan ekonomi.
Sehingga makalah ini dihadirkan
untuk menjadi bahan pengantar diskusi seputar konsep dasar ekonomi Islam.
Didalamnya akan terkemukakan deskripsi pemaknaan basis tujuan
hidup umat Islam, makna ilmu ekonomi Islam, dasar-dasar ekonomi Islam,
tujuan serta ciri ekonomi Islam, metodologi ekonomi Islam dengan beberapa
ulasan tambahan dan analisa lainnya dari beberapa referensi yang ada. Dengan
demikian diharapkan dalam bahasan ini akan didapatkan gambaran konsepsi yang
mendasar tentang ekonomi Islam.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
permasalahan yang terdapat pada makalah ini adalah :
1. Apa
pengertian dari ekonomi islam?
2. Apa dasar-dasar dari konsep ekonomi islam?
3. Apa pula tujuan-tujuan dari ekonomi islam?
C. Tujuan
Adapun tujuan permasalahan di atas adalah :
1. Untuk
mengetahui pentinnya arti dari ekonomi
islam
2. Untuk
mengetahui dasar-dasar dari ekonomi islam
3. Untuk
mengetahui perlunya adanya tujuan-tujuan
dari ekonomi islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Memaknai Tujuan Hidup Muslim
Tujuan hidup manusia secara
universal adalah mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan biasanya tercapai ketika
varian-varian hidup yang melingkupinya juga terpenuhi baik aspek materi maupun
non materi. Kecenderungan pemenuhan materi yang memadahi akan membuat seseorang
mendapatkan kebahagiaan, karena hidupnya cenderung sejahtera. Dalam
prinsip Islam, kesejahteraan bukan semata ditentukan oleh materi dan tidak
hanya milik seseorang atau keluarga tertentu, tetapi juga untuk orang lain
secara menyeluruh. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin
selain mengajarkan kepada pemenuhan non materi berupa spiritualitas, namun juga
mengajarkan tuntunan pemenuhan pencapaian kebutuhan ekonomi, yakni
pemenuhan kebutuhan ranah materi.
Untuk mencapai tujuan hidup yang
sejahtera tadi, ada tiga pokok yang dapat dipahami dari ajaran Islam, yaitu
tentang tujuan hidup adalah kemenangan (falah), lalu kemanfaatan (maslahah)
dan permasalahan dalam pencapaiannya (P3EI, 2008: 2). Falah yang
diartikulasikan sebagai kemenangan hidup di dunia dan akhirat baik pada
sisi material maupun spiritual. Falah ini ini memiliki tiga unsur kelangsungan
hidup, kebebasan berkeinginan, dan kekuatan serta harga
diri.Upaya dan ikhtiar yang dijalankan oleh umat manusia di
dunia ini dalam pandangan Islam adalah upaya ibadah yang ditujukan
untuk pencapaian kemenangan dunia dan akhirat. Sehingga setiap ungkapan,
tindakan dan bahkan keyakinannya dijalankan berdasar pada
petunjuk sang pencipta yang ditulis dalam kalam suciNya, al-Quran.
Disinilah manusia mendapatkan kesejahteraan secara
menyeluruh baik materi dan spiritual yang bernilai jangka pendek
dunia dan jangka panjang akhirat.
Adapun Maslahah merupakan
dampak positif dari memperoleh falah, yakni kebutuhan yang tercapai
secara seimbang, di mana falah ini akan memberikan situasi kebahagiaan,
sehingga masyarakat mendapatkan maslahah. Maslahah juga dapat dinilai sebagai
kemanfaatan baik material maupun non material yang menjadikan
manusia pada keadaan mulia. Maslahah ini mashur diungkapkan
oleh imam asy-Syatibi pada lima hal, agama, jiwa,
intelektual, keluarga dan material. Dengan demikian ikhtiar yang
dijalankan oleh penduduk berdasarkan pada konsep ini harus
senantiasa menimbang pada pencapaian falah yang didasarkan pada
unsur maslahah. (P3EI, 2008:6).
Pokok ketiga adalah permasalahan
dari pencapaian falah yang melahirkan kompleksitas maslahah. Hal ini karena
dalam pencapaian falah manusia dibatasi dengan faktor
kelemahan, keterbatasan kemampuan, yang dalam ekonomi diistilahkan dengan kelangkaan.
Alam semesta yang tercipta dengan keterbatasan ini membuka peluang kelangkaan
karena ketidakmeratan distribusi sumber daya, keterbatasan manusia
dan konflik yang dilahirkan dari antartujuan (P3EI, 2008:9). Disinilah
kita menemukan peran dan fungsi ilmu ekonomiyang diharapkan mampu menjadi
solusi atas masalah keterbatasan, karena ilmu ekonomi mencakup aspek
dasar kosumsi, produksi dan distribusi yang ketiganya diupayakan
untuk pemenuhan maslahah tadi. Dengan demikian penting dalam mewujudkan
kesejahterana hidupnya manusia berpikir tentang ekonomi dan
sebagai umat Islam maka ilmu ekonomi yang berlandaskan Islam
itulah yang kemudian menjadi titik sentral pencapaian falah. Sub bab
berikut menjelaskan lebih detail tentang pemaknaan dan paradigma
sistem ekonomi Islam.
B. Pengertian
Ekonomi Islam dan Paradigma Sistemnya
Pengertian masa kini ekonomi ialah
satu kajian yang berkenaan dengan perilaku manusia dalam menggunakan sumber
dayanya untuk memenuhi keperluan mereka. Sedangkan dalam pengertian Islam,
ekonomi adalah satu sains sosial yang mengkaji masalah masalah ekonomi manusia
yang didasarkan kepada asas asas dan nilai nilai Islam. Ekonomi Islam
seringkali dimasukkan sebagai cabang ilmu yang mempelajari metode memahami
dan memecahkan masalah ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam.
Perilaku manusia sebagai komunitas sosial yang didasarkan pada ajaran
Islam inilah yang menjadi dasar pembentukan perekonomian Islam itu
sendiri. Dengan demikian ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi
tentang pengelolaan harta benda menurut perpektif Islam (tadbîr syu’un
al-mâl min wijhah nazhar al-islam) (An-Nabhani, 1990).
Ekonomi Islam sebagai disiplin ilmu
dan sistem yang baru, kehadirannya tidak terlepas dari ketidaktuntasan sistem
ekonomi yang ada dalam memecahkan permasalah ekonomi. Ekonomi Islam secara
epistemologis kiranya dapat dibagi menjadi dua disiplin ilmu; Pertama, ekonomi
Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah Islam yang
berkaitan dengan urusan harta benda (al-mâl). Ekonomi Islam normatif ini oleh
Taqiyuddin an-Nabhani (1990) disebut sistem ekonomi Islam (an-nizham
al-iqtishadi fi al-Islâm). Kedua, ekonomi Islam positif, yaitu studi
konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda, khususnya yang
berkaitan dengan produksi barang dan jasa.
Dikotomi antara normatif dan
positif ini dalam ekonomi konvensional merupakan penyimpangan dari
sejarah awalnya. Sebagaimana disebutkan pula oleh Adiwarman (2001:14) tentang
buku pertama ekonomi pertama yang ditulis oleh Adam Smith, Theory
of Moral Sentiment (1759) tidak membedakan antara realitas
dan norma, sebelum kemudian menulis buku An
Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations (1776). Oleh karenanya ekonomi Islam pada dasarnya diletakkan
pada pendekatan integratif antara normatif dan positif.
Islam menempatkan etika sebagai kerangka dalam ilmu
ekonominya. Dengan demikian ekononomi Islam dikonsepkan sebagai
kerangka nilai yang integratif yang ditujukkan untuk pencapaian
kemenangan (falah) di mana ekonomi Islam tidak hanya sebagai ulasan
deskriptif empiris atas perilaku umat Islam, namun
juga membentuk suatu perekonomian yang membawa umat manusia dalam
pencapaian kemenangan hidupnya yang hakiki ( P3EI, 2008:26).
Ekonomi Islam sendiri dibangun atas
beberapa pilar yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Dalam
perspektif Muhammad (2007), ekonomi Islam dengan konfigurasinya tersusun atas
beberapa bagian ibaratkan sebuah bangunan rumah. Pada bagian dasarnya atau
landasan teori ekonomi Islam terbangun atas beberapa pokok prinsip, yakni
prinsip tauhid, al-Adl, nubuwah, khilafah dan ma’ad (Chapra, 2000:6). Adapun
paradigma sistem ekonomi Islam terbagi dalam 2 (dua) bagian; paradigma
umum, yaitu aqidah Islamiyah yang menjadi landasan pemikiran (al-qa’idah fikriyah)
bagi segala pemikiran Islam, seperti sistem ekonomi Islam, sistem politik
Islam, sistem pendidikan Islam, dan sebagainya. Kedua adalah paradigma khusus
(cabang) sebagai sejumlah kaidah umum yang lahir dari aqidah Islam yang
menjadi landasan bagi bangunan sistem ekonomi Islam.
C. Dasar-Dasar
Sistem Ekonomi Islam
Sistem Ekonomi menurut pandangan
Islam mencakup pembahasan tentang tata cara perolehan harta kekayaan dan
pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi maupun distribusi.
Sebagaimana dikutip oleh Muhammad (2007:12-13), menurut an-Nabhany (1990)
asas yang dipergunakan untuk membangun sistem ekonomi dalam pandangan Islam
berdiri dari tiga pilar (fundamental) yakni bagaimana harta diperoleh yakni
menyangkut kepemilikan (al-milkiyah), lalu bagaimana pengelolaan
kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta bagaimana
distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tauzi’ul tsarwah bayna an-naas).
Pilar Pertama : Pandangan Tentang Kepemilikan
(AI-Milkiyyah)
Kepemilikan merupakan izin as-Syari’
(Allah SWT) untuk memanfaatkan zat tertentu. Kepemilikan (property), dari segi
kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT. Hal ini
didasarkan pada ayat : “Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang
telah Dia berikan kepada kalian.”(QS. An-Nuur : 33). Oleh karena itu, harta
kekayaan itu adalah milik Allah semata. Kemudian Allah SWT telah menyerahkan
harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan dibagikan kepada mereka.
Allah telah memberikan izin terhadap
beberapa transaksi serta melarang bentuk-bentuk transaksi yang lain. Allah
melarang seorang muslim untuk memiliki minuman keras dan babi, sebagaimana
Allah melarang siapa pun yang menjadi warga negara Islam untuk memiliki harta
hasil riba dan perjudian. Dalam pandangan Islam kepemilikan (property)
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1). Kepemilikan individu (private
property); (2) kepemilikan umum (collective property); dan (3)
kepemilikan negara (state property) (Sami, 1990: 28)
1) Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah
ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (jasa) tertentu,
yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang
tersebut. An-Nabhaniy (1990) mengemukakan sebab-sebab kepemilikan yang terbatas
pada lima hal, yakni bekerja, warisan, kebutuhan akan harta untuk menyambung
hidup, harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat, harta-harta yang
diperoleh dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
2). Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin
as-Syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Berkaitan
dengan pemilikan umum ini, hukum Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya
oleh seseorang akan sekelompok kecil orang. Dan pengertian di atas maka
benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi
tiga kelompok :
a. Benda-benda yang merupakan fasilitas umum, dimana kalau
tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan
kesulitan dan orang akan berpencar-pencar dalam mencarinya
b. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar
Bahan tambang dapat dikiasifikasikan
menjadi dua, yaitu bahan tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya, yang tidak
termasuk berjumlah besar menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang
sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit
(terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara
pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan),
yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
c. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk
dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.Yang juga dapat dikategorikan
sebagai kepemilikan umum adalah benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah
hanya dimiliki oleh pribadi.
3). Kepemilikan Negara (state property)
Harta-harta yang termasuk milik
negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang
pengelolaannya menjadi wewenang negara untuk memberikan kepada sebagian warga
negara, sesuai dengan kebijakannya. (Solahudin, 2001:32)
Pilar Kedua : Pengelolaan
Kepemilikan (at-tasharruf fi al milkiyah)
Harta dalam pandangan Islam pada
hakikatnya adalah milik Allah SWT. kemudian Allah telah menyerahkannya kepada
manusia untuk menguasi harta tersebut melalui izin-Nya sehingga orang tersebut
sah memiliki harta tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta
tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya (Siddiqi,1985
&Naqvi, 1981). Hanya saja dalam memanfaatkan dan mengembangkan harta yang
telah dimilikinya tersebut ia tetap wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan
hukum Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengembangan harta. Dan
hendaknya harta tersebut tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang terlarang
seperti untuk membeli barang-barang yang haram seperti minuman keras, babi.
Pengelolaan kepemilikan yang
berhubungan dengan kepemilikan umum (collective property) itu adalah hak
negara, karena negara adalah wakil ummat. Adapun mengelola kepemilikan yang
berhubungan dengan kepemilikan negara (state property) dan kepemilikan individu
(private property) telah jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum
muamalah, seperti jual-beli, penggadaian dan sebagainya.
Pilar Ketiga : Distribusi Kekayaan
di Tengah-tengah Manusia
Karena distribusi kekayaan termasuk
masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan juga berbagai ketentuan yang
berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi kekayaan kepada individu,
dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta
transaksi-transaksi yang wajar (Sholahudin, 2001: 32-33).
Secara umum mekanisme yang ditempuh
oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan menjadi dua, yakni mekanisme ekonomi
dan mekanisme non-ekonomi. Mekanisme ekonomi yang ditempuh sistem
ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan distribusi kekayaan diantara manusia yang
seadil-adilnya dengan sejumlah cara, yakni :
- Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan dalam kepemilikan individu.
- Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan kepemilikan (tanmiyah al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
- Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
- Mengatasi peredaran kekayaan di satu daerah tertentu saja dengan menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
- Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
- Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
- Pemanfaatan secara optimal hasil dari barang-barang (SDA) milik umum (al- milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi tersebut
adalah :
1. Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai
memerlukan.
2. Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada
para mustahik.
3. Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari
orang yang mampu
4. Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain.
D. Prinsip
dan Tujuan Utama Sistem Ekonomi Islam.
Dalam sistem ekonomi Islam terdapat beberapa prinsip,
diantaranya adalah:
- Hak milik peribadi, Islam memperakui pemilikan hak perseorangan dan menempatkan hak ini ditempat yang paling sesuai dengan fitrah manusia. Islam melihat bahawa manusia adalah makhluk yang memiliki dorongan dorongan memiliki dan menyukai harta benda.
- Kebebasan mencari sumber pendapatan,Islam memberikan kepada setiap orang hak dan kebebasan dalam menentukan corak kehidupannya. la bebas memilih kerja kerja yang ia minati asalkan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
- Ke’adilan sosial; kegiatan ekonomi adalah sebahagian daripada ruang lingkup Islam yang syumul.
- Hak pewarisan; di antara prinsip yang ditetapkan oleh Islam dalam memperolehi hak milik ialah melalui hak pewarisan. Hak pewarisan berdasarkan kepada fitrah manusia, keadilan dan penghormatan terhadap kehendak dan cita cita pemilik. Islam memandang bahwa hak pewarisan adalah salah satu alat yang utama bagi mencapai ke’adilan sosial di dalam masyarakat.
Adapun tujuan-tujuan ekonomi menurut Islam adalah
- Menunaikan sebahagian daripada tuntutan ibadah
- Menegakkan keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat
Sistem ekonomi yang berteraskan
kepada kerjasama dan kesaksamaan akan mewujudkan rasa kasih sayang, sifat
tanggungjawab dan tolong menolong di antara satu sama lain.
- Menghapuskan kemiskinan dan keadaan guna tenaga penuh serta kadar perkembangan ekonomi yang optimum.
Di dalam Islam kegiatan ekonomi
adalah satu ibadah dan ia merupakan amanah Allah kepada orang orang yang
beriman. Kegiatan ekonomi mempunyai kesan terhadap kerohanian dan keimanan kaum
muslimin. Maka tujuan ekonomi di dalam Islam ialah, pertama; untuk menghapuskan
ataupun mengatasi masalah kemiskinan, kedua; mewujudkan peluang pekerjaan yang
penuh, dan ketiganya; mengekalkan kadar pertumbuhan yang optimum dan sesuai
menurut perkembangan kebendaan dan kerohanian masyarakat.
- Mewujudkan kestabilan barangan sejajar dengan nilai mata uang
Sistem ekonomi mewujudkan kestabilan
pasaran melalui sikap setup anggota masyarakat yang tidak mementingkan diri sendiri
serta sentiasa bersedia membantu dan berkorban demi kepentingan anggota anggota
masyarakat yang lain.
- Mengekalkan keamanan dan kepatuhan terhadap undang-undang
Asas asas ekonomi Islam bersandarkan
kepada tuntutan tuntutan iman dan akhlak serta sedikit kuatkuasa undang undang.
Namun dalam pengertian sistem akhlak Islam yang sebenar, tuntutan tuntutan
akhlak ini tidak dapat dilaksanakan secara teguh tanpa bernaung di bawah satu
sisten yang mempunyai kewibawaan untuk menegakkan undang undang.
- Mewujud keharmonian hubungan antarabangsa dan memastikan kekuatan pertahanan negara. Menurut Islam keharmonian hubungan antarabangsa wujud di atas dasar kerjasama sosial dan ekonomi dan bukan di atas penindasan terhadap keduanya.
Adapun ciri-ciri utama ekonomi Islam
adalah sistem ekonomi Islam berdasarkan pada sistem Islam yang menyeluruh dan
mewujudkan keseimbangan di antara kepentingan individu dengan kepentingan
masyarakat.
E. Metodologi
Ekonomi Islam
Pencapaian ekonomi Islam sebagaimana
disinggung di atas adalah terwujudnya kemenangan dalam pemenuhan
kebutuhan hidup dunia akhirat. Persoalan pertama yang muncul
adalah bagaimana cara mencapainya yang lebih dikenal
dengan metodologi yang digunakan dalam pencapaiannya, yaitu Islam yang
didasarkan pada al Quran dan Sunah Nabi,
dapat dijadikan dari kedua sumber ini pengetahuan dan kemampuan dalam
pengambilan keputusan ekonomi. Ada beberapa bahasan tentang bab ini
yakni, tentang rasionalitas Islam, kedudukan dan peran etika
dan syariah Islam dalam ekonomi.
- Konsep rasionalitas Islam. Dalam pembahasan ekonomi selalu dilandaskan pada asumsi mengenai perilaku ekonominya, maka dalam pengambilan keputusan diasumsikan adanya perilaku berpikir, bertindak dan bersikap secara rasional (P3EI, 2008:27).
Terminologi rasionalitas
dibangun atas kaidah-kaidah logika yang dapat diterima
akal secara universal dan tidak dilakukan pengujian untuk
membutikannya sebagai aksioma. Weber menyebutkan bahwa
rasionalitas merupakan konsepsi kultural yang bersifat unik sesuai
dengan kondisi dan situasi yang melingkupinya. Rasionalitas Islam
kiranya dapat dijabarkan secara terinci sebagai berikut :
- Setiap perilaku ekonomi adalah diarahkan pada pencapaian maslahah. Beberapa ketentuan kaidahnya adalah bahwa Maslahah yang lebih besar lebih disenangi daripda yang lebih kecil. Lalu maslahah kiranya dapat diikhtiarkan secara jangka panjang dan berkesinambungan.
- Setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubaziran (non-wasting)
- Setiap pelaku ekonomi selalau berusaha untuk tidak meminimumkan resiko (risk aversion). Resiko merupakan bagian yang tidak menyenangkan dan dapat menyebabkan penurunan maslahah yang diterima. Ada beberapa bahasan tentang aksioma resiko, yaitu resiko yang bernilai, resiko yang tidak bernilai
- Setiap pelaku ekonomi dihadapkan pada situasi ketidakpastian
- Setiap pelaku berusaha melengkapi informasi dalam upaya meminumkan resiko
Dalam ajaran Isam terdapat
beberapa nilai aksioma universal yang diajarkan, yaitu
adanya kehidupan setelah mati, kehidupan akhirat
sebagai akhir atas segala kehidupan dan sumber
informasi yang sempuran adalah kitab suci Quran dan Sunah.
Aksioma-aksioma ini menjadi
penting bagi pelaku yang memiliki rasionalitas Islam dalam
jangka waktu yang tak terbatas. Dalam basis ajaran
Islam, maka berdasar pada aksioma quasi concavity bahwa pelaku
ekonomi pasti akan melakukan harmonisasi
maslahah di dunia dan akhirat dengan cara
mengorbankan kenikmatan di dunia ini demi kenikmatan di
akhirat.
- Etika, rasionalitas dan hubungannnya dengan syariah, fiqh dan ekonomi Islam.
Aspek moral merupakan
standar perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat.
Hal yang dianggap rasional oleh paham konvensional
dapat pula dianggap tidak rasional bagi
Islam dan sebaliknya. Bagi paham relativisme (utilarianisme)
sebagai contohnya adalah minuman keras merupakan tindakan rasional
yang tidak mendatangkan kerugian masyoritas,
tetapi minum-minuman keras bagi Islam dapat menjauhkan diri
dari maslahah yang diterima baik secara agama, fisik
maupun intelektual. Ekonomi Islam memberikan aturan bagi
perilaku ekonomi berdasarkan rasional ekonomi, maka
etika perilaku ekonomi didasarkan pada ajaran Islam
tidak hanya kesepakatan sosial.
Adapun sikap rasional islami
diperoleh karena adanya sumber yang berasal dari fakta
empiris dan ayat Quran. Dalam hal ini syari`ah Islam
berfungsi sebagai sumber informasi yang bersal
dari Allah dan rasulnya, sedangkan fungsi yang lainnya adalah
memberikan kontrol terdapat perilaku manusia dari
tindakan rugi yang jauh dari kemenangan pencapaian
tujuan hidup (falah). Beberapa kaidah pokok Fiqh tersebut
adalah :
a) Pada dasarnya setiap
muamalah adalah diperbolehkan kecuali terdapat larangannya
terdapat daam al Quran dan Sunnah
b) Hanya Allah yang mempunyai
kuasa menghalalkan dan mengharamkan sesuatu.
c) Sesuatu yang najis
dan merusak adalah haram
d) Sesuatu yang menyebabkan
pada haram juga dihukumi haram
e) Tujuan seseorang
tidak padat mengubah yang haram menjadi halal.
f) Halal dan haram
adalah berlaku bagi siapapun muslim yang berakal, merdeka
g) Keharusan
adanya skala prioritas dalam pengambilan
keputusan
- Menghindari kerusakan yang lebih didahulukan dari mencari kebaikan
- Kepentingan sosial dan luas diutamakan daripada kepentingan individu yang sempit
- Manfaat yang kecil dapat dikorbankan untuk kemanfaatan yang lebih besa
- Bahaya yang kecil dapat dikorbankan untuk menghidari bahaya yang lebih besar.
- Kaidah-kaidah tersebut di atas dapat dijadikan pedoman teori dan praktek ekonomi Islam (P3EI, 2008 :35).
Adapun yang menjadi kerangka teori
dalam ekonomi Islam adalah adanya unsur kebenaran dan dan
kebaikan. Dalam pandangan Islam kebenaran dan kebaikan ada
yang mutlak dan ada yang relatif, kebenaran yang mutlak
hanya berasal dari Allah; al Quran dan Sunnah sedangkan
yang bersifat relatif bersumber dari fenomena alam
semesta. Dari pembahasan di atas tampak bahwa Islam dengan aturan syariah
maupun nilai etis dan ajaran moral yang ditetapkan telah memiliki landasan
konsep yang jelas pada ranah ekonomi secara menyeluruh dan memadahi dalam upaya
pencapaian tujuan, falah umat Islam. Persoalan yang muncul dalam hemat saya
adalah bentuk reaktualisasi dari konsep dasar yang terkandung didalamnya
cenderung masih lemah dan membutuhkan tahapan pelaksanaan lanjutan, yakni
upaya harmonisasi dengan konsep ekonomi konvensinal lainnya sejauh bahwa
konsepsi-konsepsi yang diakomodasi dari luar konsep Islam tersebut memiliki
keselarsan nilai serta memberikan daya dukung yang positif.
Dengan pola yang komperhensif pada
perpaduaan antara nilai-nilai agama ke dalam interaksi sosial-ekonomi, ekonomi
Islam tampaknya jauh akan lebih akomodatif dalam merespon dinamika perkembangan
masyarakat. Dengan demikian darapannya adalah landasan etis dan komprehensifnya
aturan yang tertuang di dalam ekonomi Islam ini akan mampu menjadi
jembatan atas perseteruan sistem ekonomi lain yang sementara lalu
diagung-agungkan sebagai sebuah sistem ekonomi yang mapan dan
final.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Sistem ekonomi Islam
memiliki dasar asas yakni kepemilikan (al-Milkiyah), pengelolahan
kepemilikan dan distribusi kepemilikan ditengah kehidupan manusia. Dari uraian
landasan-landasan nilai yang melingkupinya, sistem ekonomi Islam hadir sebagai
tawaran alternatif atas kebuntuhan sitem ekonomi dominan atas permasalahan
ekonomi dewasa ini. Sistem Ekonomi Islam yang terjelaskan di atas sangat
diilhami dan diselimuti dengan landasan nilai etis dan tampaknya
menjadi penting sebagai aturan perilaku ekonomi yang semakin mengarah pada
dehumanisasi, eksploitasi dan ketidakadilan serta ketimpangan sosial yang
menjadi realitas sosial kehidupan manusia dalam bingkai sistem ekonomi
kapitalistik.
Gerakan yang komperhensif yang
mensinergikan antara nilai material-duniawi dengan nilai spiritual-ukhrowi
dalam interaksi sosial-ekonomi hemat saya adalah identitas nilai etis yang
mendasari ekonomi Islam yang tidak sekedar positivistik sebagaimana
konsep dasar yang menjiwai sistem ekonomi dominan ”konvensional” lainnya dewasa
ini.
jos mantab
BalasHapus